Merdeka.com - Tanpa diduga siapapun, kemarin (25/3) Arab Saudi menginvasi Yaman. Tak tanggung-tanggung, Negeri Petro Dollar itu mengerahkan 100 jet tempur dan 150 ribu infantri yang sekarang berjaga di perbatasan kedua negara. Operasi militer ini digalang bersama 10 negara Timur Tengah lainnya.
Juru bicara Saudi, Adel al-Jubair, mengatakan negaranya berkepentingan melindungi pemerintahan sah Yaman, dipimpin oleh Presiden Abdurabuh Mansyur Hadi. Sang presiden itu sejak awal 2015 terpaksa menyingkir dari Ibu Kota Sanaa karena serangan pemberontak dari Suku Houthi yang bermazhab Islam Syiah.
Russian Times melaporkan, Jumat (27/3), dunia internasional mengecam tindakan sepihak Saudi. Rusia meminta Raja Salman sebagai pemimpin Saudi menghentikan operasi militer tersebut.
"Segala kekerasan dan kegiatan militer di Yaman harus dihentikan. Setiap pihak yang bertikai perlu mengupayakan solusi damai," kata Presiden Rusia Vladimir Putin.
Kementerian Luar Negeri China turut prihatin atas perkembangan di Yaman yang sejak dua tahun terakhir mengalami perang saudara.
"China mendesak semua pihak untuk bertindak sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan PBB mengenai Yaman, dan untuk menyelesaikan sengketa melalui dialog," ungkap Juru bicara Kementerian China, Hua Chunying.
Analis militer CNN, Rick Francona, meyakini invasi Saudi merupakan babak baru perebutan pengaruh antara dua mazhab dalam Islam di Timur Tengah. Saudi dikenal sebagai negara yang memproklamirkan diri berlandaskan mazhab Sunni. Sementara pemberontak Houthi yang secara de facto menguasai Yaman sekarang berisikan militan Syiah.
"Saudi meyakini Houthi didukung oleh Iran yang juga merupakan negara mayoritas Syiah," kata Francona.
Saudi juga tidak malu-malu mengungkapkan alasan operasi militer itu. Jubair dalam jumpa pers menyatakan pasukan Houthi mendapat pasokan senjata dan dana dari "kekuatan di kawasan."
Presiden Mansyur Hadi yang tersingkir, kini bersembunyi di Kota Aden. Pekan lalu, militan Houthi sudah merangsek masuk ke wilayah tersebut. Dalam waktu kurang dari tiga hari, Saudi akhirnya menggelar operasi militer. Negara-negara di Teluk yang juga bermazhab Sunni ikut serta, semisal Qatar, Kuwait, Yordania, hingga Mesir.
Amerika Serikat dilaporkan belum mau terlibat. Sumber CNN di Pentagon menyatakan Presiden Barack Hussein Obama merestui invasi Saudi, tapi tidak akan mengerahkan kekuatan militer untuk ikut menyerbu Yaman.
"Tentara AS bisa membantu logistik dan pasokan informasi intelijen, tapi sebatas itu," ungkap petinggi militer tak disebut namanya ini.
Stasiun Televisi Aljazeera turut melaporkan perkembangan tak terduga di Yaman sebagai permainan politik antara Saudi versus Iran.
Dalam peta politik saat ini, Iran unggul selangkah di Suriah dan Yaman. Bahkan eksistensi Negara Islam Irak dan Syam (ISIS) belum mampu menggoyang Presiden Suriah Basyar al-Assad yang sejak lama didukung oleh Teheran.
Analis politik Aljazeera mengatakan Saudi semakin gerah melihat manuver Iran beberapa tahun terakhir. Di Bahrain dan di provinsi selatan Saudi, minoritas Syiah semakin berani menuntut otonomi khusus dan menggelar unjuk rasa. Para pangeran di Riyadh meyakini Presiden Iran Hassan Rouhani ikut campur atas kejadian-kejadian itu.
Sunni-Syiah sudah tidak akur sejak era kekhalifahan Islam sepeninggal Nabi Muhammad. Namun baru di era modern lah, perang pengaruh itu terwujud dalam adu kuat dua negara.
Iran-Saudi tidak berbatasan langsung. Tapi sejak 1970-an, khususnya ketika Revolusi Islam di Iran menghasilkan pemerintahan Syiah fanatik, perang dingin di Timur Tengah memanas.
Adu pengaruh Iran-Saudi terjadi di Kuwait, yang akhirnya berujung pada Perang Teluk pada 1990-an. Kini, skenario perang dua negara sama-sama kaya minyak berpindah ke Yaman. Saudi berang, karena penduduk Syiah di Yaman cuma 35 persen, tapi intelijen Iran dituding berhasil memprovokasi mereka mendongkel pemerintahan.
Yaman yang dipimpin Syiah merupakan mimpi buruk bagi Saudi, apalagi negara miskin itu berbatasan langsung dengan Tanah Suci Makkah.
Russian Times mencatat seluruh elemen bersenjata di Timur Tengah mengakui yang berperang sekarang adalah Iran dan Saudi. Sementara Houthi hanya jadi pion.
Perebutan pengaruh politik di jazirah Arab ini merugikan seluruh dunia. Harga minyak dunia kemarin melonjak karena pedagang dan importir khawatir serangan Saudi tidak bisa dipastikan akhirnya. Alhasil, pasokan minyak bisa terganggu. Harga minyak Brent naik lebih dari USD 3 per barel mencapai USD 59,78 per barel.
Di sisi lain, warga sipil juga menjadi korban dari permainan politik tingkat tinggi ini. Serangan perdana jet tempur Saudi ke pinggiran Ibu Kota Sanaa menewaskan 13 orang, semuanya penduduk biasa, bukan militan Houthi.
"Semua pihak di Yaman harus bertanggung jawab. Respon militer tidak akan menyelesaikan krisis di Yaman," kata Kepala Hubungan Luar Negeri Uni Eropa Federica Mogherini.
Kunci menghentikan kekacauan kini sepenuhnya ada di tangan Iran dan Saudi.
______
http://www.merdeka.com/dunia/arab-saudi-serbu-yaman-fase-baru-sunni-lawan-syiah.html
http://www.merdeka.com/dunia/arab-saudi-serbu-yaman-fase-baru-sunni-lawan-syiah-splitnews-2.html
Mutiara Hati