Slider

Aktual

Smal Galeri

Artikel

Aqidah

Galeri

Berita

Video

JAKARTA, KOMPAS.com Kamis, 9 Juli 2009— Peneliti Senior Lembaga Survei Indonesia (LSI) Syaiful Mujani mengatakan, isu-isu primordial semacam gender, kesukuan, agama, ataupun ormas keagamaan sudah tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap para konstituen pilpres.

Hal ini dipaparkan dalam konferensi pers mengenai hasil exit poll LSI tentang latar belakang dan perilaku pemilih, Kamis (9/7). Exit poll ini sekaligus sebagai penjelasan terhadap beberapa quick count yang dilakukan LSI.

Hasil quick count LSI sendiri menunjukkan, pasangan SBY-Boediono unggul dengan perolehan mencapai 60,8 persen suara. Sementara Mega-Prabowo mendulang suara sebesar 26,6 persen. Terakhir pasangan JK-Wiranto yang mendapatkan 12,6 persen suara.

Syaiful mengatakan bahwa survei exit poll justru lebih penting daripada sekadar hasil quick count. Jika quick count hanya berupa pemaparan angka-angka hasil pemungutan suara, maka exit poll inilah yang menggambarkan perilaku para pemilih terhadap pemilihnya tersebut.

"Di negara-negara maju sudah tidak dilakukan quick count. Yang ada hanya exit poll. Karena exit poll inilah yang lebih praktis dan informatif menjelaskan hasil pemungutan suara," kata Syaiful.

Exit poll LSI ini menunjukan bahwa pertimbangan rasional lebih menentukan pilihan konstituen. Terbukti dalam masalah gender, perbedaan pilihan antara laki-laki dan perempuan tidak berbeda jauh. Pasangan SBY-Boediono sama unggul baik dari pemilih laki-laki dan perempuan. Masing-masing 55 dan 66 persen.

Secara kesukuan juga demikian, pilihan antara orang Jawa dan non-Jawa sama-sama menunjukkan keunggulan SBY-Boedino. Baik Jawa maupun non-Jawa, yang memilih SBY-Boediono sama besar 61 persen.

Secara agama juga tidak berbeda jauh. Namun, perolehan pasangan Mega-Prabowo meningkat jika merujuk pada agama si pemilih. Di kalangan umat Kristen dan Katolik, Mega-Prabowo meraih 42 dan 46 persen.

Sementara dari kalangan umat Islam, paparannya justru tidak berbeda jauh. Pilihan umat Islam dari kalangan NU maupun Muhammadiyah sama-sama tinggi pada SBY-Boediono, yaitu 64 dan 58 persen. "Hal ini menunjukkan bahwa dalam konteks politik, pengaruh para pemimpin maupun elite agama sudah tidak memiliki kekuatan terhadap perilaku memilih umat bawahannya," kata Syaiful.

Menurut Syaiful, saat ini pertimbangan rasional yang lebih menjadi kriteria konstituen untuk menentukan pilihannya. Kriteria tersebut tecermin dalam alasan-alasan responden terhadap pilihannya. Antara lain dengan alasan program yang meyakinkan mencapai 38,6 persen dan alasan keberpihakan kepada rakyat sebesar 35,6 persen.

Syaiful berharap agar para elite politik meninggalkan isu-isu primordial karena isu semacam ini sudah tidak berpengaruh terhadap kriteria para pemilih. "Hasil exit poll ini hendaknya dapat dijadikan pembelajaran maupun panduan para elite politik dalam memetakan demografi para pemilih dan pendukungnya di pemilu-pemilu yang akan datang," kata Syaiful.

Komentar :
Alangkah baiknya bila kita menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Itu artinya Setiap warga negara berhak untuk memegang tampuk pimpinan puncak Indonesia (Presiden) dengan tanpa memandang gender ataupun etnik tertentu. Begitu juga di provinsi, akan lebih baik bila yang menjadi tuan rumah adalah pemilik rumah itu sendiri putra daerah. Saya sangat tidak setuju bila ada ungkapan "Presiden harus orang Jawa". Tapi satu hal yang harus kita akui adalah Pemimpin harus benar-benar dipilih oleh rakyat.

Bagi beberapa kalangan, kekalahan mungkin merupakan hal yang menyakitkan. Akan tetapi kekecewaan tidak akan membawa kita kearah yang lebih baik. Presiden juga seorang manusia yang tidak luput dari cacat. Mari kita dukung presiden terpilih kita nanti. Dan mari kita koreksi bersama kebijakan presiden kita, bukan menjatuhkannya.

JAKARTA, KOMPAS.com Kamis, 9 Juli 2009— Peneliti Senior Lembaga Survei Indonesia (LSI) Syaiful Mujani mengatakan, isu-isu primordial semacam gender, kesukuan, agama, ataupun ormas keagamaan sudah tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap para konstituen pilpres.

Hal ini dipaparkan dalam konferensi pers mengenai hasil exit poll LSI tentang latar belakang dan perilaku pemilih, Kamis (9/7). Exit poll ini sekaligus sebagai penjelasan terhadap beberapa quick count yang dilakukan LSI.

Hasil quick count LSI sendiri menunjukkan, pasangan SBY-Boediono unggul dengan perolehan mencapai 60,8 persen suara. Sementara Mega-Prabowo mendulang suara sebesar 26,6 persen. Terakhir pasangan JK-Wiranto yang mendapatkan 12,6 persen suara.

Syaiful mengatakan bahwa survei exit poll justru lebih penting daripada sekadar hasil quick count. Jika quick count hanya berupa pemaparan angka-angka hasil pemungutan suara, maka exit poll inilah yang menggambarkan perilaku para pemilih terhadap pemilihnya tersebut.

"Di negara-negara maju sudah tidak dilakukan quick count. Yang ada hanya exit poll. Karena exit poll inilah yang lebih praktis dan informatif menjelaskan hasil pemungutan suara," kata Syaiful.

Exit poll LSI ini menunjukan bahwa pertimbangan rasional lebih menentukan pilihan konstituen. Terbukti dalam masalah gender, perbedaan pilihan antara laki-laki dan perempuan tidak berbeda jauh. Pasangan SBY-Boediono sama unggul baik dari pemilih laki-laki dan perempuan. Masing-masing 55 dan 66 persen.

Secara kesukuan juga demikian, pilihan antara orang Jawa dan non-Jawa sama-sama menunjukkan keunggulan SBY-Boedino. Baik Jawa maupun non-Jawa, yang memilih SBY-Boediono sama besar 61 persen.

Secara agama juga tidak berbeda jauh. Namun, perolehan pasangan Mega-Prabowo meningkat jika merujuk pada agama si pemilih. Di kalangan umat Kristen dan Katolik, Mega-Prabowo meraih 42 dan 46 persen.

Sementara dari kalangan umat Islam, paparannya justru tidak berbeda jauh. Pilihan umat Islam dari kalangan NU maupun Muhammadiyah sama-sama tinggi pada SBY-Boediono, yaitu 64 dan 58 persen. "Hal ini menunjukkan bahwa dalam konteks politik, pengaruh para pemimpin maupun elite agama sudah tidak memiliki kekuatan terhadap perilaku memilih umat bawahannya," kata Syaiful.

Menurut Syaiful, saat ini pertimbangan rasional yang lebih menjadi kriteria konstituen untuk menentukan pilihannya. Kriteria tersebut tecermin dalam alasan-alasan responden terhadap pilihannya. Antara lain dengan alasan program yang meyakinkan mencapai 38,6 persen dan alasan keberpihakan kepada rakyat sebesar 35,6 persen.

Syaiful berharap agar para elite politik meninggalkan isu-isu primordial karena isu semacam ini sudah tidak berpengaruh terhadap kriteria para pemilih. "Hasil exit poll ini hendaknya dapat dijadikan pembelajaran maupun panduan para elite politik dalam memetakan demografi para pemilih dan pendukungnya di pemilu-pemilu yang akan datang," kata Syaiful.

Komentar :
Alangkah baiknya bila kita menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Itu artinya Setiap warga negara berhak untuk memegang tampuk pimpinan puncak Indonesia (Presiden) dengan tanpa memandang gender ataupun etnik tertentu. Begitu juga di provinsi, akan lebih baik bila yang menjadi tuan rumah adalah pemilik rumah itu sendiri putra daerah. Saya sangat tidak setuju bila ada ungkapan "Presiden harus orang Jawa". Tapi satu hal yang harus kita akui adalah Pemimpin harus benar-benar dipilih oleh rakyat.

Bagi beberapa kalangan, kekalahan mungkin merupakan hal yang menyakitkan. Akan tetapi kekecewaan tidak akan membawa kita kearah yang lebih baik. Presiden juga seorang manusia yang tidak luput dari cacat. Mari kita dukung presiden terpilih kita nanti. Dan mari kita koreksi bersama kebijakan presiden kita, bukan menjatuhkannya.