Slider

Aktual

Smal Galeri

Artikel

Aqidah

Galeri

Berita

Video




Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Beberapa saat lalu, web rumaysho.com –alhamdulillah- telah membahas beberapa tanda kiamat. Dimulai dengan munculnya Imam Mahdi dan Turunnya Nabi Isa ‘alaihis salam di akhir zaman. Saat ini kita akan membahas tanda datangnya kiamat lainnya, yaitu munculnya Dajjal. Insya Allah tulisan ini akan kami sajikan dalam beberapa seri tulisan. Semoga Allah memberikan kita keyakinan dan aqidah yang benar.

Dajjal asalnya berarti “التَّغْطِيَة”, bermakna menutupi. Orang yang berdusta disebut Dajjal karena ia menutupi kebenaran dengan kebatilan.[1]
Dajjal yang dimaksud dalam bahasan ini adalah Dajjal akbar yang akan muncul menjelang hari kiamat di zaman Imam Mahdi dan Nabi Isa ‘alaihis salam.

Dajjal, Seberat-Beratnya Ujian
Keluarnya Dajjal merupakan di antara tanda datangnya kiamat. Fitnah (cobaan) yang ditimbulkan oleh Dajjal adalah seberat-beratanya ujian yang akan dihadapi manusia.
Dalam sebuah hadits shahih disebutkan,

مَا بَيْنَ خَلْقِ آدَمَ إِلَى قِيَامِ السَّاعَةِ خَلْقٌ أَكْبَرُ مِنَ الدَّجَّالِ
Tidak ada satu pun makhluk sejak Adam diciptakan hingga terjadinya kiamat yang fitnahnya (cobaannya) lebih besar dari Dajjal.” (HR. Muslim no. 2946)
An Nawawi rahimahullah menerangkan, “Yang dimaksud di sini adalah tidak ada fitnah dan masalah yang lebih besar daripada fitnah Dajjal.”[2]

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di hadapan manusia lalu memuji Allah karena memang Dialah satu-satunya yang berhak atas pujian kemudian beliau menceritakan Dajjal. Beliau bersabda,

إِنِّى لأُنْذِرُكُمُوهُ ، وَمَا مِنْ نَبِىٍّ إِلاَّ أَنْذَرَهُ قَوْمَهُ ، لَقَدْ أَنْذَرَ نُوحٌ قَوْمَهُ ، وَلَكِنِّى أَقُولُ لَكُمْ فِيهِ قَوْلاً لَمْ يَقُلْهُ نَبِىٌّ لِقَوْمِهِ ، تَعْلَمُونَ أَنَّهُ أَعْوَرُ ، وَأَنَّ اللَّهَ لَيْسَ بِأَعْوَرَ

Aku akan menceritakannya kepada kalian dan tidak ada seorang Nabi pun melainkan telah menceritakan tentang Dajjal kepada kaumnya. Sungguh Nabi Nuh ‘alaihis salam telah mengingatkan kaumnya. Akan tetapi aku katakan kepada kalian tentangnya yang tidak pernah dikatakan oleh seorang Nabi pun kepada kaumnya, yaitu Dajjal itu buta sebelah matanya sedangkan Allah sama sekali tidaklah buta“. (HR. Bukhari no. 3337 dan Muslim no. 169)

Dari Anas, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا بُعِثَ نَبِىٌّ إِلاَّ أَنْذَرَ أُمَّتَهُ الأَعْوَرَ الْكَذَّابَ ، أَلاَ إِنَّهُ أَعْوَرُ ، وَإِنَّ رَبَّكُمْ لَيْسَ بِأَعْوَرَ ، وَإِنَّ بَيْنَ عَيْنَيْهِ مَكْتُوبٌ كَافِرٌ

Tidaklah seorang Nabi pun diutus selain telah memperingatkan kaumnya terhadap yang buta sebelah lagi pendusta. Ketahuilah bahwasanya dajjal itu buta sebelah, sedangkan Rabb kalian tidak buta sebelah. Tertulis di antara kedua matanya “KAAFIR”.” (HR. Bukhari no. 7131)

Dalam sebuah hadits shahih, dari Abu Umamah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يا أيها الناس ! إنها لم تكن فتنة على وجه الأرض منذ ذرأ الله ذرية آدم أعظم من فتنة الدجال و إن الله عز و جل لم يبعث نبيا إلا حذر أمته الدجال و أنا آخر الأنبياء و أنتم آخر الأمم و هو خارج فيكم لا محالة

Wahai sekalian manusia, sungguh tidak ada fitnah yang lebih besar dari fitnah Dajjal di muka bumi ini semenjak Allah menciptakan anak cucu Adam. Tidak ada satu Nabi pun yang diutus oleh Allah melainkan ia akan memperingatkan kepada umatnya mengenai fitnah Dajjal. Sedangkan Aku adalah Nabi yang paling terakhir dan kalian juga ummat yang paling terakhir, maka tidak dapat dipungkiri lagi bahwa Dajjal akan muncul di tengah-tengah kalian.” (Dikeluarkan dalam Shahih Al Jaami’ Ash Shoghir no. 13833. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Dajjal Dinamakan Al Masih
Dajjal dinamakan Al Masih karena salah satu matanya terusap/ tertutup (artinya: buta sebelah). Disebutkan pula bahwa ia dinamakan Al Masih karena  dia mengusap/ melewati bumi selama empatpuluh hari.[3]
Al Masih sendiri kadang ditujukan pada orang yang shidiq (jujur) yaitu ‘Isa ‘alaihis salam dan kadang pula Al Masih dimaksudkan untuk orang yang sesat lagi dusta yaitu Dajjal yang matanya buta sebelah.[4]

Berita Tentang Kemunculan Dajjal adalah Berita Mutawatir
Sebagian hadits mengenai Dajjal telah dikemukakan di atas. Sebagian lainnya akan kita temukan pada bahasan selanjutnya mengenai Dajjal. Intinya, semua hadits-hadits tersebut menunjukkan bahwa di akhir zaman, akan muncul Dajjal. Berita tentang Dajjal ini diriwayatkan dalam riwayat yang amat banyak, sampai derajat mutawatir. Hadits-hadits yang membicarakan tentang Dajjal pun berasal dari kitab Shahih Bukhari dan Muslim. Oleh karena itu, orang yang meragukan tentang hal ini, dialah yang sungguh aneh.
Al Qodhi mengatakan, “Hadits-hadits yang disebutkan oleh Imam Muslim dan selainnya mengenai kisah Dajjal benar-benar sebagai hujjah bagi madzhab yang berada di atas kebenaran bahwa Dajjal benar adanya. Dajjal adalah benar-benar manusia. Allah mendatangkannya untuk menguji para hamba-Nya. Allah memberikan pada Dajjal berbagai ilahiyah (ketuhanan), yaitu dengan menghidupkan mayit yang sebelumnya ia matikan, menumbuhkan tanaman, menyuburkan tanah dan kebun, menjadikan api dan dua macam sungai. Kemudian Dajjal pun akan mengeluarkan berbagai macam perbendaharaan di dalam bumi, ia akan menurunkan hujan dari langit, dan tanah pun akan tumbuh tanaman. Ini semua dilakukan atas kuasa dan kehendak Allah. Kemudian setelah itu, Allah Ta’ala membuat ia tidak bisa berbuat apa-apa. Namun tidak ada yang bisa membunuh Dajjal dan menghancurkan berbagai urusannya melainkan ‘Isa ‘alaihis salam. Allah pun akhirnya mengokohkan hati orang beriman. Inilah madzhab Ahlus Sunnah, keyakinan para pakar hadits, para fuqoha dan para ulama peneliti lainnya.”[5]

Mengapa Berita Tentang Dajjal Tidak Disebutkan dalam Al Qur’an?
Ada beberapa versi jawaban yang dapat diberikan dalam hal ini:

Pertama, Allah Ta’ala berfirman,

يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لَا يَنْفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا

Pada hari datangnya ayat dari Tuhanmu, tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang kepada dirinya sendiri.” (QS. Al An’am: 158). Padahal dalam hadits disebutkan,

ثَلاَثٌ إِذَا خَرَجْنَ (لَمْ يَنْفَعْ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ) الآيَةَ الدَّجَّالُ وَالدَّابَّةُ وَطُلُوعُ الشَّمْسِ مِنَ الْمَغْرِبِ أَوْ مِنْ مَغْرِبِهَا

Tiga tanda, jika semuanya telah terjadi, maka tidak akan berguna lagi keimanan seseorang sebelumnya, yaitu; keluarnya Dajjal, binatang melata, dan terbitnya matahari dari barat atau dari tempat terbenamnya” (HR. Tirmidzi no. 3072 dan Ahmad 2/445. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Hadits ini menunjukkan adanya korelasi dengan ayat di atas, sehingga sangat tepat sekali menunjukkan adanya Dajjal di akhir zaman.

Kedua, Al Qur’an sendiri mengisyaratkan bahwa ‘Isa bin Maryam akan turun di akhir zaman seperti pada firman Allah Ta’ala,

وَإِنْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ إِلَّا لَيُؤْمِنَنَّ بِهِ قَبْلَ مَوْتِهِ

Tidak ada seorangpun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya.” (QS. An Nisa': 159). Dan pada firman Allah Ta’ala,

وَإِنَّهُ لَعِلْمٌ لِلسَّاعَةِ

Dan sesungguhnya Isa itu benar-benar memberikan pengetahuan tentang hari kiamat.” (QS. Az Zukhruf: 61). Jika benar Isa akan turun di akhir zaman dan misi beliau adalah membunuh Dajjal, maka cukup dengan kita menyebut turunnya Isa, itu menandakan akan munculnya Dajjal. Apalagi antara Isa dan Dajjal sama-sama disebut Al Masih.
Inilah di antara alasan mengapa Dajjal tidak disebutkan dalam Al Qur’an sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Hajar Al Asqolani.[6]
Alasan ketiga yang dapat diberikan adalah sebagai berikut.

Ketiga: Berita tentang Dajjal juga sudah disebutkan dalam ayat Al Qur’an,

لَخَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَكْبَرُ مِنْ خَلْقِ النَّاسِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

Sesungguhnya penciptaan langit dan bumi lebih besar daripada penciptaan manusia akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ghofir/Al Mu’min: 57) Yang dimaksud dengan penciptaan manusia di sini adalah Dajjal. Sebagaimana yang mendukung hal ini adalah hadits,

مَا بَيْنَ خَلْقِ آدَمَ إِلَى قِيَامِ السَّاعَةِ خَلْقٌ أَكْبَرُ مِنَ الدَّجَّالِ

Tidak ada satu pun makhluk sejak Adam diciptakan hingga terjadinya kiamat yang fitnahnya (cobaannya) lebih besar dari Dajjal.” (HR. Muslim no. 2946)

Mengenai surat Ghofir ayat 57, Al Baghowi mengatakan, “Sebagian ulama mengatakan: yaitu yang lebih besar dari ujian dari Dajjal. Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya, yaitu orang Yahudi yang selalu memperdebatkan tentang Dajjal.”[7]

Demikian beberapa sajian awal dari kami mengenai Dajjal. Insya Allah kajian ini masih akan dilanjutkan pada tulisan serial berikutnya. Semoga Allah mudahkan.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Referensi:
  1. Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, 1392 H.
  2. Al Yaumul Akhir-Al Qiyamatush Shugro, Dr. ‘Umar Sulaiman Al Asyqor, Darun Nafais-Maktabah Al Falah, cetakan keempat, 1411 H.
  3. Asyotusy Sya’ah, ‘Abdullah bin Sulaiman Al Ghofili, Kementrian Urusan Islamiyah, Waqof, Dakwah, dan Irsyad, Kerajaan Saudi Arabia, cetakan pertama, 1422 H.
  4. Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, Darul Ma’rifah, 1379 H.
  5. Lisanul ‘Arob, Muhammad bin Makrom bin Manzhur Al Afriqi Al Mishri, Dar Shodir, cetakan pertama.
  6. Ma’alimut Tanzil, Al Husain bin Mas’ud Al Baghowi, Dar Thoyibah, cetakan keempat, tahun 1417 H.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.rumaysho.com


[1] Lihat Fathul Bari, 13/91.
[2] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 18/87
[3] Lihat Fathul Bari, 6/472, Lisanul ‘Arob, 2/593 dan Asyrotus Saa’ah, hal. 117.
[4] Lihat Asyrotus Saa’ah, hal. 117.
[5] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 18/58.
[6] Fathul Bari, 13/92.
[7] Ma’alimut Tanzil, 7/153
-

Pertanyaan:
Bismillah. Assalamu’alaikum. Ustadz, apakah teras luar masjid termasuk masjid yang kita dilarang berjualan di situ? Dan apa batasan suatu itu termasuk bagian dari masjid? Tolong dijawab, ustadz, karena di tempat ana terjadi konflik tentang masalah tersebut. Jazakallahu khairan.

Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulillah. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabatnya.

Tidak diragukan lagi bahwa masjid didirikan untuk menegakkan peribadahan kepada Allah Ta’ala; ber-tasbih, mendirikan shalat, membaca kalam Ilahi, dan berdoa kepada-Nya,

فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللهُ أَن تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَاْلأَصَالِ رِجَالُُ لاَّتُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلاَبَيْعٌ عَن ذِكْرِ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَآءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَاْلأَبْصَار

Di rumah-rumah yang di sana Allah telah memerintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, di sana ber-tasbih (menyucikan)-Nya pada waktu pagi dan waktu petang. Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan membayarkan zakat. Mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hari dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. an-Nur: 36-37).

Pada ayat ini dijelaskan bahwa masjid adalah tempat untuk menegakkan ibadah kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana dijelaskan bahwa orang-orang yang benar-benar menegakkan peribadatan kepada-Nya tidaklah menjadi terlalaikan atau tersibukkan dari peribatannya hanya karena mengurusi perniagaan dan pekerjaannya. Apalagi sampai menjadikan masjid sebagai tempat untuk berniaga.

إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَجِلَّ وَتاصَّلاَةِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ

Sesungguhnya, masjid-masjid ini hanyalah untuk menegakkan dzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla, shalat, dan bacaan al-Qur’an.” (HR. Muslim, no. 285).

Demikianlah karakter orang-orang yang memakmurkan rumah-rumah Allah. Tidak heran bila Allah Ta’ala memuji orang-orang yang menggunakan masjid sesuai fungsinya dengan berfirman,

إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللهِ مَنْ ءَامَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَءَاتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلاَّ اللهَ فَعَسَى أُوْلاَئِكَ أَن يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ

Yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. at-Taubah: 18).

Sebagai konsekuensi dari ini, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita dari berniaga di dalam masjid. Beliau bersabda,

إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيْعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِيْ الْمَسْجِدِ فَقُولُوا: لاَ أَرْبَحَ اللهُ تِجَارَتَكَ وَإِذَا رَأَيْتُم مَنْ يُنْشِدُ فِيْهِ ضَالَةً فَقُولُوا: لاَ رَدَّ الههُ عَلَيْكَ

Bila engkau mendapatkan orang yang menjual atau membeli di dalam masjid, maka katakanlah kepadanya, ‘Semoga Allah tidak memberikan keuntungan pada perniagaanmu.’ Dan bila engkau menyaksikan orang yang mengumumkan kehilangan barang di dalam masjid, maka katakanlah kepadanya, ‘Semoga Allah tidak mengembalikan barangmu yang hilang.’” (HR. at-Tirmidzi, no. 1321, dan oleh al-Albani dinyatakan sebagai hadits shahih dalam Irwa’ul Ghalil, 5/134, no. 1295).

Dahulu, Atha’ bin Yasar bila menjumpai orang yang hendak berjualan di dalam masjid, beliau menghardiknya dengan berkata, “Hendaknya engkau pergi ke pasar dunia, sedangkan ini adalah pasar akhirat.” (HR. Imam Malik dalam al-Muwaththa’, 2/244, no. 601).

Berdasarkan ini semua, banyak ulama yang mengharamkan jual-beli di dalam masjid.
Adapun teras masjid yang ada di sekeliling masjid, bila berada dalam satu kompleks (areal) dengan masjid –karena masuk dalam batas pagar masjid–, maka tidak diragukan hukum masjid berlaku padanya. Hal ini karena para ulama telah menggariskan satu kaidah yang menyatakan,

الْحَرِيْمُ لَهُ حُكْمُ مَا هُوَ حَرِيْمٌ لَهُ

Sekelilingnya sesuatu memliki hukum yang sama dengan hukum yang berlaku pada sesuatu tersebut.” (Al-Asybah wan Nazha’ir: 240, as-Suyuthi).

Kaidah ini disarikan oleh para ulama ahli fikih dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ

Sesungguhnya yang halal itu nyata, dan yang haram pun nyata. Sedangkan antara keduanya (halal dan haram) terdapat hal-hal yang diragukan (syubhat) yang tidak diketahui kebanyakan orang. Maka barangsiapa menghindari syubhat, berarti ia telah menjaga keutuhan agama dan kehormatannya. Sedangkan barangsiapa yang terjatuh ke dalam hal-hal syubhat, niscaya ia terjatuh ke dalam hal haram. Perumpamaannya bagaikan seorang penggembala yang menggembala (gembalaannya) di sekitar wilayah terlarang (hutan lindung), tak lama lagi gembalaannya akan memasuki wilayah itu. Ketahuilah, bahwa setiap raja memiliki wilayah terlarang. Ketahuilah, bahwa wilayah terlarang Allah adalah hal-hal yang Dia haramkan.” (HR. al-Bukhari, no. 52 dan Muslim, no. 1599).

Akan tetapi, bila teras tersebut berada di luar pagar masjid, atau terpisahkan dari masjid oleh jalan atau gang, maka hukum masjid tidak berlaku padanya. Demikianlah yang difatwakan oleh Komite Tetap Fatwa Kerajaan Arab Saudi yang diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, pada Fatwa no. 11967.

Wallahu Ta’ala A’lam bishshawab.

Dijawab oleh Ustadz Dr. Muhammad Arifin Baderi, M.A [Penasihat Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia]
Sumber: Majalah Al Furqon, Edisi 2 tahun ke-10, 1431 H/ 2010 M
Artikel www.EkonomiSyariat.com
 
Syaikh Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr

Sesungguhnya di antara hak-hak yg mulia yang diserukan oleh agama kita yg hanif ini adalah hak orang yg telah lanjut usia atau tua, sama saja apakah dia adalah bapak kita atau kerabat kita baik muslim maupun kafir. Orang yg sudah lanjut usia mempunyai hak-hak yang telah dijaga dan perhatikan oleh Islam. Apa saja hak-hak yang harus kita perhatikan kepada orang-orang yang sudah tua? Simaklah ulasannya dalam lembaran berikut ini.

ISLAM AGAMA YANG MENJAGA HAK-HAK MANUSIA
Sesungguhnya manusia sangat membutuhkan penjelasan tentang hak-hak yang ada; hak Allah, hak Nabi, hak orang tua, hak kerabat, hak tetangga, dan hak orang yang sudah lanjut usia. Mengingatkan kepada permasalahan hak-hak ini adalah pintu pembuka kebaikan dan kebahagiaan karena seorang muslim jika diingatkan maka dia akan teringat, jika ditunjuki maka dia akan mendapat petunjuk. Allah berfirman : Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman. (QS. Adz-Dzariyat [51]:55).

Hendaknya seorang muslim mengetahui keindahan syari’at Islam, bahwa Islam adalah agama yang adil, agama yang memberi setiap pemilik hak-haknya masing-masing. Allah berfirman : Sesunggunya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kpd kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. An-Nahl [16] : 90).

Dan hendaknya seorang berusaha untuk mengetahui hak-hak dalam Islam, karena bagaimana mungkin kita mampu menunaikan hak Allah, hak Nabi, orang tua, kerabat, tetangga dan hak orang yang sudah tua jika kita tidak mengetahuinya. Di sinilah letak pentingnya pembahasan kita kali ini.

URGENSI MEMPERHATIKAN HAK-HAK ORANG YANG SUDAH TUA
Sesungguhnya orang yang sudah lanjut usia mempunyai hak-hak yang harus diperhatikan. Islam sebagai agama yang sempurna berada di barisan paling depan dalam memberi perhatian dan menjaga hak-hak mereka. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya termasuk pengagungan kepada Allah adalah memuliakan orang yang sudah beruban lagi muslim, memuliakan ahli Qur’an dengan tidak berlebihan dan tidak menyepelekannya, dan memuliakan para pemimpin yang berbuat adil.”[1]

Perhatikanlah hadits diatas. Betapa besarnya hak orang yang sudah lanjut usia. Betapa tinggi kedudukan mereka. Bahkan, Nabi juga berwasiat : “Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi anak-anak kecil dan tidak menghormati orang-orang tua dari kami.”[2]

Sabda Nabi “bukan termasuk golongan kami” menunjukkan bahwa orang yang tidak menghormati orang yang sudah tua maka dia tidak mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berada diatas jalan dan sunnahnya.
Islam sebagai agama yang hanif – dengan kelembutan dan perhatiannya – sangat memperhatikan orang-orang yang sudah berusia lanjut. Diantara bukti tersebut ialah apa yang dikisahkan dalam riwayat berikut ini :
Tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di kota Makkah dan duduk di masjid, Abu Bakar datang bersama bapaknya menemui Rasulullah. Ketika Rasulullah melihatnya maka beliau berkata kepada Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu :  “Tidakkah engkau biarkan bapak ini tetap di rumahnya hingga aku mendatanginya?”

Abu Bakar  menjawab, “Wahai Rasulullah, dia lebih berhak datang kepadamu daripada engkau yang datang kepadanya.” Rawi berkata, “Maka Abu Bakar mendudukkan bapaknya di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap dadanya dan berkata, ‘Masuk Islamlah!’ Bapak tersebut akhirnya masuk Islam.”[3]

Lihatlah bagaimana kalimat yang diucapkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu mengena dalam jiwanya. Apa yang terjadi? Apa pengaruhnya dalam hati bapak tersebut? Demi Allah, hatinya sangat terbuka, bahagia untuk menyambut seruan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena itu, dia segera menerima ajakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk masuk Islam tanpa keraguan!
Bahkan, andaikan orang tua seseorang bukanlah muslim maka syari’at kita tetap menyerukan untuk menjaga haknya sekalipun dia mengajak anaknya kepada kekafiran. Allah Ta’ala berfirman :

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia yang baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-ku, kemudian hanya kepada-Ku-lah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS. Luqman [31] : 15).

Dalil-dalil dalam syari’at yang mulia – dari al-Qur’an dan Sunnah – yang menunjukkan perhatian terhadap hak-hak orang yang sudah lanjut usia sangatlah banyak.

FAKTOR PENDUKUNG DALAM PELAKSANAANNYA
Ketika kita mendengar hak-hak ini dan mengetahui bahwa syari’at Islam menjaga hak orang yang sudah lanjut usia, perlu kita perhatikan beberapa perkara yang hendaknya kita ingat dan kita hadirkan dalam dada ketika ingin melaksanakan hak-hak tersebut, agar menjadi penolong dalam pelaksanaannya dan kita tetap istiqamah dalam pelaksanaan hak tersebut. Sebab, inti dari menerima peringatan adalah keadaan kita tetap baik dan istiqamah dalam melaksanakan peringatan yang kita ketahui. Allah berfirman : Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka), dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi Kami, dan pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus. (QS. An-Nisa’ [4] : 66-68).

Apa saja faktor pendukung dalam pelaksanaan hak-hak orang yang sudah lanjut usia?
  1. Perhatikan dalil-dalil yang memerintahkan untuk menaruh perhatian terhadap hak-hak orang yang sudah lanjut usia. Sebab, hal itu akan membantu dalam pelaksanaannya. Demi Allah, tidaklah ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Sesungguhnya termasuk pengagungan kepada Allah adalah memuliakan orang yang sudah beruban lagi muslim” kecuali akan membangkitkan hati untuk semangat melaksanakan hak-hak tersebut.
  2. Memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala agar kita mampu melaksanakan hak-hak ini karena tidak ada kemampuan kecuali dari Allah Ta’ala. Bila kita mendengar pintu-pintu kebaikan maka mohonlah kepada Allah Ta’ala agar kita mampu meraih kebaikan tersebut.
  3. Mengingat akan manisnya buah dari pelaksanaan hak-hak tersebut. Sungguh Allah Ta’ala telah menyiapkan kebaikan yang besar dan nikmat yang banyak di dunia dan akhirat bagi yang melaksanakan hak-hak ini. Perbuatan baik ini akan meluaskan rezeki, memanjangkan umur, menjadikan kehidupan lebih berkah, menghilangkan segala kesedihan dan penyakit, serta menghindarkan dari musibah dan ujian. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Carikanlah untukku orang-orang yang lemah dari kalian, karena kalian akan diberi rezeki dan ditolong dengan sebab orang-orang yang lemah di antara kalian.”[4]
  4. Ingatlah sebuah kaidah dalam agama ini bahwa “sebagaimana engkau beramal maka demikian pula kamu akan dibalas”. Perbuatan baik balasannya adalah kebaikan dan perbuatan jelek balasannya pun adalah kejelekan. Apabila engkau menjaga hak-hak orang yang sudah lanjut usia dan memperhatikannya maka demikian pula nanti ketika engkau telah berusia lanjut hak-hakmu akan terjaga.
  5. Melihat perjalanan kehidupan yang penuh berkah dari kalangan salaf, dari adab mereka bersama orang yg sudah tua, penghormatan mereka, perhatian dan pemuliaan mereka kepada orang yg sudh lanjut usia, hal ini akan menjadi kisah dan suri teladan yang baik.
  6.  
HAK-HAK ORANG YANG SUDAH TUA DALAM ISLAM
  1. a.       Menghormatinya
Sebagaimana Rasulullah mengatakan : “… dan menghormati orang-orang tua dari kami.”[5]
Ini adalah kalimat yang agung mengandung makna yang tinggi; bahwa orang yang tua dihormati, hingga hal ini akan mengambil hatinya dan menyenangkan jiwanya. Sebab, orang yang sudah tua pantas untuk dihormati. Yang dimaksud “menghormati orang yang tua” adalah dalam hatimu ada rasa penghormatan dan pengagungan terhadap mereka, engkau mengetahui kedudukannya; dan inilah salah satu hak dari hak-hak mereka.
  1. b.       Memuliakannya
Sebagaimana hadits yang sudah kami sebutkan : “Sesungguhnya termasuk pengagungan kepada Allah adalah memuliakan orang sudah beruban lagi muslim.”[6]
Memuliakannya dengan cara membaguskan panggilan kepada mereka, membaguskan cara bergaul dengan mereka, dan menampakkan kecintaan kepada mereka.
  1. c.        Engkau memulai salam kepadanya
Sebagaimana hadits yang berbunyi : “Hendaknya org yg kecil memberi salam kepada yg lebih besar, orang yang berjalan kepada yang duduk, dan yang sedikit kepada yg banyak.”[7]
Apabila engkau berjumpa dengan orang tua maka jangan menunda untuk memulai salam kepadanya. Akan tetapi, segeralah memberi salam dengan penuh adab dan penghormatan. Dan perhatikan juga kondisi usia tuanya, jika pendengarannya masih sehat maka ucapkanlah salam dengan suara yang dia dengar dan tidak menyakitinya, dan jika pendengarannya sudah berkurang maka perhatikan pula kondisinya.
  1. d.       Jika engkau berbicara maka lembutkanlah suaramu
Jika engkau berbicara kepada orang yang sudah tua, maka bicaralah dengan suara yang lembut. Panggilah dengan panggilan yang penuh penghormatan dan pemuliaan, seperti “wahai pamanku” dan selainnya. Abu Umamah bin Sahl berkata, “Kami pernah shalat Zhuhur bersama Umar bin Abdul Aziz, kemudian kami keluar hingga menemui Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu sedang dia shalat Ashar. Aku berkata,’Wahai pamanku, shalat apa yang baru saja engkau kerjakan?’ Anas menjawab, ‘Ini shalat Ashar, dan inilah shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dahulu kami pernah shalat bersamanya.’”[8]
  1. e.        Mendahulukannya dalam berbicara
Juga mendahulukannya dalam perkumpulan, mendahulukan dalam hal makan, dalam hal masuk; dan hal ini termasuk hak mereka. Rasulullah sendiri pernah bersabda dalam kisah yang panjang : “Dahulukanlah orang yang tua, dahulukannya orang yang tua.”[9]
  1. f.        Perhatikan kesehatannya
Yaitu dengan memberi perhatian pada badan dan kesehatannya yang semakin lemah karena dimakan usia. Dan hal ini adalah ketentuan yang tak dapat ditolak. Allah berfirman : Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa. (QS. ar-Rum [30] : 54).
Dengan demikian, termasuk hak yang seharusnya engkau tunaikan adalah memperhatikan kesehatannya. Sebab, usia yang bertambah tua akan membuat lemah, lemah kemampuan panca indera, bahkan ada sebagian orang yang sudah tua, perbuatannya seperti kembali pada perbuatan anak-anak, maka engkau harus perhatian juga. Dan termasuk perkara yang menyedihkan, ada sebagian anak sudah berbuat baik kepada orang tuanya yang sudah lanjut usia, tetapi kemudian dia merasa bosan hingga pada akhirnya dia tidak lagi berbuat baik kepada orang tuanya, bahkan sampai ada yang membawa orang tuanya yang sudah jompo ke tempat penitipan, tempat orang-orang tua dan jompo! Na’udzubillahi min dzalika.
  1. g.       Mendo’akan kebaikan
Hendaknya engkau selalu mendo’akan kebaikan kepada mereka agar tetap di dalam ketaatan, tetap mendapat taufik, tetap mendapat penjagaan Allah. Hendaknya engkau pun mendo’akan mereka agar tetap sehat walafiat, hidup dengan tenang, dan agar mereka termasuk orang-orang yang disabdakan oleh Nabi: “Orang yang panjang umurnya dan bagus amalannya.”[10]
  1. h.       Kebaikan orang tua tidak ada bandingannya
Ketahuilah, betapa pun besarnya kebaikan yang engkau berikan kepada orang tuamu belum sebanding dengan kebaikan mereka dan belum bisa membalas jasa-jasa mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Anak tidak akan bisa membalas jasa orang tuanya, kecuali jika orang tuanya itu adalah seorang budak yang kemudian dia beli dan dia bebaskan.”
Inilah sebagian hak-hak yang selayaknya dijaga seorang muslim. Dan inilah sebagian peringatan tentang pembahasan ini.[]

Disarikan secara bebas oleh Ustadz Abu Aniisah Syahrul Fatwa bin Lukman dari kitab Huquq Kibaar as-Sinn fil Islam,

karya: Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr hafidhaumullah dengan peringkasan oleh penulis.
Artikel: http://ibnuabbaskendari.wordpress.com/

Sumber: Majalah AL-FURQON edisi 10 thn. 11 jumadil ‘Ula 1433H
Disalin kembali dari: abuyahya8211.wordpress.com





[1]   HR. Abu Dawud : 4843; dihasankan oleh Syaikh Albani rahimahullah dalam Shahih al-Jami’ no. 2199.
[2]   HR. Tirmidzi : 1842; ash-Shahihah no. 2196.
[3]   HR. Ahmad : 26956; sanadnya dihasankan oleh Syaikh Albani rahimahullah dalam ash-Shahihah 1/895.
[4]   HR. Abu Dawud: 2594, Tirmidzi :1702, Nasai : 3179, Ahmad : 21731; dishahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah: 780.
[5]   HR. Tirmidzi : 1842; disebutkan dalam ash-Shahihah no. 2196.
[6]   HR. Abu Dawud: 4843; dihasankan oleh Syaikh Albani rahimahullah dalam Shahih al-Jami’ no. 2199.
[7]   HR. Bukhari; 6231, Muslim:5772
[8]   HR. Bukhari : 549, Muslim 623
[9]  HR. Bukhari : 2937, Muslim : 3160
[10]  Tirmidzi : 2251, Ahmad : 20415; dishahihkan oleh al-Albani rahimahullah dalam ash-Shahihah no. 1836.
Fatwa Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
*
Soal:
Bagaimana tata cara menyalatkan mayit?

Jawab:
Urutan tata cara menyalatkan mayit :
  1. Melakukan takbiratul ihram (takbir pertama).
  2. Tanpa perlu membaca istiftah langsung berta’aawudz (أَعُوّْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ) dan membaca basmalah.
  3. Diikuti dengan bacaan Al-Fatihah.
  4. Melakukan takbir kedua dan diikuti dengan ucapan shalawat kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam semisal shalawat yang dibaca pada tasyahud akhir dalam shalat fardhu.
  5. Melakukan takbir ketiga dan mendoakan si mayit dengan doa-doa yang terdapat dalam hadits-hadits yang shahih.(*)
  6. Selepas berdoa kemudian melakukan takbir terakhir (takbir keempat), berhenti sejenak, lalu salam ke arah kanan dengan satu kali salam.
(*) Di antara bentuk doa-doa tersebut adalah:

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَوَسِّعْ مَدْخَلَهُ، وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ، وَنَقِّهِ مِنَ الذُّنُوبِ والْخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ، وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ، وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ، وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ عَذَابِ النَّار, وَافْسَحْ لَهُ فِي قَبْرِهِ، ونَوِّرْ لَهُ فِيهِ

Ya Allah, ampuni dan rahmatilah dia. Selamatkanlah dan maafkanlah dia. Berilah kehormatan untuknya, luaskanlah tempat masuknya. Mandikanlah dia dengan air, es, dan embun. Bersihkanlah dia dari kesalahan sebagaimana Engkau bersihkan baju yang putih dari kotoran. Gantikanlah baginya rumah yang lebih baik dari rumahnya, isteri yang lebih baik dari isterinya. Masukkanlah dia ke dalam surga, lindungilah dari azab kubur dan azab neraka. Lapangkanlah baginya dalam kuburnya dan terangilah dia di dalamnya.” (HR. Muslim)
Jika yang dishalatkan itu mayit perempuan, orang yang shalat mengucapkan,

اللّهُمَّ اغْفِرْ لَهَا

Yaitu dengan mengubah semua dhamir-nya menjadi dhamir muannats (kata ganti jenis perempuan).
Adapun bila yang dishalatkan itu anak kecil, doa yang dibaca yaitu,

اللّهُمَّ اجْعَلْهُ لِوَالِدَيْهِ فَرَطًا وَأَجْرًا وشَفِيعًا مُجَابًا‏

Ya Allah, jadikanlah dia sebagai simpanan, pahala, dan sebagai syafaat yang mustajab untuk kedua orang tuanya.” (HR. Al-Bukhari)

اللَّهُمَّ ثَقِّلْ بِهِ مَوَازِينَهُمَا، وَأَعْظِمْ بِهِ أُجُورَهُمَا، وَأَلْحِقْهُ بِصَالِحِ سَلَفِ الْمُؤْمِنِينَ، وَاجْعَلْهُ فِي كَفَالَةِ إِبْرَاهِيمَ، وَقِهِ بِرَحْمَتِكَ عَذَابَ الْجَحِيمِ‏

Ya Allah, perberatlah karenanya timbangan kebaikan kedua orang tuanya, perbanyaklah pahala kedua orang tuanya, dan kumpulkanlah dia bersama orang-orang shalih terdahulu dari kalangan orang yang beriman, masukkanlah dia dalam pengasuhan Ibrahim, dan dengan rahmat-Mu, peliharalah dia dari siksa neraka Jahim.”

Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/7086?ref=p-top

***

Artikel Muslimah.Or.Id
Penerjemah: Verawaty Lihawa (Ummu Ruman)
Murojaah: Ustadz Abu Hatim Sigit
"KAJIAN LENGKAP APAKAH SETIAP JENAZAH ITU WAJIB DISHOLATI"
-------------------------------------------------------------------------------------------




بسم الله الرحمن الرحيم ،

الحمد لله و الصلاة و السلام على نبيه و عبده و آله و صحبه و سلم . أما بعد :

Berikut ini suatu permasalahan ringkas yang kami ketengahkan guna menerangkan perkara yang samar yang terjadi secara berulang-ulang ditengah masyarakat dan terkadang kita bingung mengambil sikap yakni perkara yang berkaitan dengan mensholati jenazah. Masalahnya akan sederhana jika memang jenazah yang terbujur kaku didepan kita adalah seorang yang telah kita kenal kebaikan agamanya semasa hidupnya, namun akan menjadi masalah jika jenazah tersebut adalah orang yang tidak kita ketahui secara jelas keadaan agamanya atau mungkin kita ketahui dia bukanlah dari orang yang baik agamanya namun kita ragu, ataukah juga mungkin dia adalah seorang yang kafir namun karena dekatnya hubungan kekerabatan antara kita sehingga kitapun bingung dan bingung dalam menentukan sikap, maka berikut itu bimbingan syari'at secara singkat melalui penjelasan para ulama.

Berkata imama Ahmad rahimahullah dalam ushul sunnah nya :

و من مات من أهل القبلة موحدا يصلى عليه ، و يستغفر له و لايحجب له الإستغفار ، و لا تترك الصلاة عليه لذنب أذنبه صغيرا كان أو كبيرا ، أمره إلى الله تعالى

"Barang siapa yang wafat dari kaum muslimin dalam keadaan mentauhidkan Allah maka disholati jenazahnya, dan dimohonkan ampunan atasnya dan tidak boleh dihalangi darinya istigfar, serta tidak boleh tidak mensholatinya karena dosa yang dia perbuat baik dosa itu tergolong dosa kecil ataupun dosa besar, perkaranya (urusan dia diadzab atau tidak) diserahkan kepada Allah."

Keterangan singkat :
--------------------------------

√ Keterangan yang semisal dengan perkataan imam Ahmad rahimahullah ini terucap dari sekian banyak para ulama salaf yang tersebar di kitab-kitab aqidah mereka.

√ Kondisi manusia semasa hidup sampai wafat dapat dikelompokkan menjadi beberapa kondisi, diantaranya :

1. Orang yang tidak berintisab kepada Islam dan menetapkan intisabnya kepada agama selain Islam, maka orang seperti ini jika wafat dalam keadaan seperti tersebut, maka tidak boleh disholati dan tidak boleh dido'akan. Allah 'Azza wa Jalla berfirman :

ما كان للنبي و الذين آمنوا أن يستغفروا للمشركين ولو كانوا ألى قربى

"Tidalah patut bagi nabi dan orang-orang mukmin untuk memintakan ampun bagi orang-orang musyrik walau mereka (orang-orang musyrik) itu adalah kerabat mereka."(Qs At-taubah : 113)

2. Orang yang menampakan keislamannya akan tetapi dia menyembunyikan kekufurannya, maka orang seperti ini jika dia wafat dalam keadaan demikian maka bagi orang yang mengetahui keadaannya tidak boleh mensholati jenazahnya. Karena dia tergolong sebagai orang munafiq, Allah berfirman :

لا تصل على أحد منهم مات أبدا

"Janganlah engkau sholat atas salah seorang dari mereka selama-lamanya" (Qs At-taubah : 84)

Adapun orang yang tidak mengetahui keadaannya (artinya tidak tahu kalau dia menyembunyikan kekufurannya) maka dia boleh mensholati jenazahnya.

3. Orang yang zhohir dan batinnya Islam dan dia termasuk orang-orang yang bertakwa yang melakukan amalan shalih, jika dia wafat maka jenazahnya disholati. Bahkan mensholati jenazahnya adalah pahala yang besar, sebagaimana terdapat dalam hadits yang artinya : "Barangsiapa yang mensholati jenazah maka baginya pahala satu qirath, dan barang siapa yang mengantarkan jenazahnya sampai dikuburkan (setelah ikut mensholatinya) maka baginya pahala dua qirath."(HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

4. Barang siapa yang wafat dalam keadaan dia berintisab kepada Islam (artinya dia sebagai seorang Islam) dan sepanjang hidupnya tidak didapati padanya hal-hal yang membatalkan keislamannya(seperti kekufuran dan kesyirikan), hanya saja didapatinya padanya kadang melakukan dosa-dosa besar dan berbagai kemaksiatan maka orang seperti ini disholati jenazahnya. Hal yang menunjukan hal ini adalah :

a. Orang tersebut tetap adalah seorang muslim, dan sebagaimana keyakinan ahlus sunnah bahwa seseorang tidak keluar dari Islam selama dia tidak melakukan amalan yang membuat keislamannya menjadi batal serta ahlus sunnah tidak mengkafirkan seseorang yang melakukan dosa-dosa besar. Hal ini berbeda dengan keyakinan khawarij dan yang semadzhab dengan mereka yang mengkafirkan pelaku dosa besar. Bahkan ahlus sunnah berkeyakian bahwa pelaku dosa besar berada di bawah kehendak Allah, jika Allah berkehendak maka dia akan diadzab dan jika Allah berkehendak maka dia tidak akan diadzab. (Silahkan merujuk pada kitab-kitab aqidah para imam salaf)

b. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melakukan sholat terhadap sejumlah pelaku maksiat di zaman beliau dan hal itu berlangsung sampai pada zaman ini. Hanya saja terkadang Rasulullah tidak mensholati sebagian yang wafat dalam keadaan punya hutang dan beliau memerintahkan para sahabat yang lain untuk mensholatkan orang-orang tersebut. Hal ini dilakukan dalam rangka metahdzir/beri peringatan keras terhadap yang hidup agar tidak meremehkan masalah utang piutang.

5. Orang yang berintisab kepada Islam akan tetapi pada dirinya ada perbuatan-perbuatan yang bertentangan atau yang membatalkan pokok Islam,

Seperti :

- Dia berdo'a kepada selain Allah,
- Menyembelih kepada selain Allah
- Dan lain-lain dari syirik akbar

Maka orang yang seperti ini jika wafat maka keadaannya berada dalam dua keadaan :

1. Jika dia melakukan amalan itu dalam keadaan bodoh/jahil dan belum sampai kepadanya ilmu dan penjelasan maka orang ini diberikan udzur dan disholati. Hal ini berdasarkan hukum berada pada zhohirnya(yang nampak pada keadaan zhohir orang ini yaitu dia berintisab kepada Islam dan mengakui kebenaran Islam dan meyakininya hanya saja karena dia bodoh). Dikecualikan dari hal ini adalah jika dia melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang ma'lumun bidharuriy (telah diketahui oleh semua orang) baik di kalangan para ulama ataupun selain mereka akan kekufurannya, seperti menghinakan al-qur'an, menghina Rasulullah, mengingkari kerasulan nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wa sallam, maka orang ini tidak disholati, karena ia telah kafir, dihukumi dan diperlakukan di dunia sebagai orang kafir.

- ditanyakan kepada syaekh Shalih Fauzan hafizhahullah : Sebagian orang berkata bahwa orang yang mencaci Allah dan rasul-Nya tidak dikafirkan sampai dia meyakini dengan hatinya akan perbuatannya itu. Karena bisa jadi dia melakukan perbuatan tersebut (mencaci Allah dan rasul-Nya) dalam keadaan sangat marah atau karwna kebodohan. Maka apa pendapat kalian dalam hal ini ? Apakah orang jahil diberi udzur dalam masalah ushul tauhid ?

Jawab :

Tidak boleh. Yang demikian ini tidak ada udzur , baik karena bercanda, main-main, atau kebodohan dalam hal ini. Orang yang mencela Allah dan rasul-Nya telah murtad dari islam (yang demikian ini karena perkara mencela Allah dan rasul-Nya adalah perkara yang maklum bidharuriy) sama saja apakah dia denagn celaan itu bermaksud untuk mencela dengan hatinya atau tidak, atau dia bermaksud bercanda, atau bermain-main. Dalam perkara ini tidak boleh main-main, dalam masalah aqidah tidak boleh main-main dan tidak boleh bercanda. (Lihat Ar-rasa-ilul Jaliyah Fi rad 'Ala Dholalaat ba'dhi Du'atil Hizbiyah, cet Daarul Minhaaj, hal 118)

2. Jika dia melakukan perbuatan tersebut diatas dalam keadaan dia tau akan hukumnya dan bukan karena terpaksa atau dipaksa maka jelas orang ini kafir dan jika dia wafat dalam keadaan demikian maka tidak disholati jenazahnya.

Catatan :
* Adapun orang-orang yang hidup pada masa fatroh/masa kekosongan dari para rasul atau orang yang hidup di hutan belantara yang jauh sehingga dia tidak mengenal dakwah dan dakwah tidak sampai padanya dan anak-anak bayi dari kalangan orang kafir yang wafat, maka hukum mereka ini di dunia adalah dihukumi kafir, demikian pula bayi orang kafir yang meninggal dihukumi berdasar hukum orang taunya yaitu kafir. Adapun di akhirat maka mereka diuji dengan diutuskan kepada mereka rasul lalu rasul tersebut memerintahkan mereka untuk masuk ke dalam api. Jika mereka mentaatinya, maka akan selamat dan jika tidak mentaati, maka akan celaka dan binasa. (Lihat haditsnya dalam musnad Ahmad dan dinyatakan shohih oleh syaekh Muqbil dalam dalam shohihul musnad no 24)

* Demikian juga terdapat dalam riwayat Ahmad dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu :

فمن دخلها كانت عليه بردا و سلاما ، و من لم يدخلها يسحب إليها (أخرجه أحمد برقم : ٢٤)

"Barang siapa yang masuk ke dalamnya (masuk ke dalam api yang diperintahkan untuk masuk padanya itu) niscaya api itu akan terasa dingin dan keselamatan baginya, dan barang siapa yang tidak masuk padanya (tidak mentaati perintah) maka dia akan diseret kepada api tersebut." (HR Ahmad no 24)

- Berkata Syaekh Abdul 'Aziz bin Baaz :"Barang siapa yang tinggal ditengah-tengah kaum muslimin maka kebodohannya (dalam hal-hal yang maklum bidhoruriy) tidak menjadi udzur baginya dalam masalah seperti ini mencela agama islam adalah riddah/murtad dari islam, demikian pula mencaci Allah dan rasul-Nya dan memperolok-olok Allah atau rasul-Nya semua ini adalah riddah/murtad, tidak diberi udzur karena kebodohannya." (Lihat Ar-rasa-il Al-jaliyah fi Radd 'Ala Dholalaat ba'dhi Du'aat Al-hizbiyah, hal 118)

Dengan memperhatikan pembahasan diatas maka sebagai pelengkapnya kami akan memabahas secara singkat hukum orang yang meninggalkan sholat dan sikap yang seharusnya kita tempuh ketika berhadapan dengan jenazahnya. Bukanlah hal yang samar bagi penuntut ilmu bahwa permasalahan hukum orang yang tidak melakukan sholat adalah merupakan permasalahan khilaf yang mu'tabar diatara para ulama, namun yang perlu kita ketahui adalah bagaimana sikap yang harus kita tempuh setelah kita memilih salah satu dari pendapat para ulama tersebut ketika kita berhadapan dengan jenazah orang yang tidak melakukan sholat semasa hidupnya, karena pembahasan kita adalah boleh tidaknya mensholati suatu jenazah.

- Berkata Imam Ahmad rahimahullah dalam ushul sunnanya

ومن ترك الصلاة فقد كفر ، ليس من الأعمال شيء يركه كفر إلا الصلاة ، من تركها فهو كافر ، وقد أحل الله قتله

"Barang siapa yang meninggalkan sholat maka dia telah kafir, dan tidak ada suatu amalanpun yang apabila meninggalkannya maka pelakunya menjadi kafir kecuali sholat. Maka barang siapa yang meninggalakannya maka dia kafir, dan Allah telah menghalalkan membunuhnya"

Keterangan Singkat :
--------------------------------
√ Para ulama berselisih pendapat dalam masalah mengkafirkan orang yang meninggalakan sholat dengan sengaja, akan tetapi mereka sepakat tentang kekufurannya/kemurtadannya jika dia meninggalkan sholat karena menentang kewajibannya. Perbedaan pandangan ini terbagi menjadi dua kelompok sebagai berikut :

1. Para ulama yang mengkafirkan orang yang meninggalkan sholat tanpa membedakan apakah dia melakukan hal itu dengan penentangan akan kewajibannya atau karena malas atau yang semisal dalam keadaan tetap meyakini akan kewajiban sholat baginya. Mereka berhujjah dengan dalil-dalil sebagai berikut :

- Rasululullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

نهيت عن قتل المصلي

"Aku dilarang membunuh orang yang sholat" (Hr. Abu Daud no 4930, Abu Ya'la dalam musnadnya 6126. Dishohihkan Syaekh Al-bani dalam Shahih al-jaami' no 2506)

* Berkata Syaekh Abdul 'Aziz bin Abdullah Ar-Roojihi :"Hadits ini menunjukan bahwa orang yang tidak sholat tidak dilarang untuk dibunuh, bahkan orang tidak sholat itu dibunuh" (Lihat Syarh Ushul Sunnah Imam Ahmad, cet Daar At-tauhid Li Nasyr, hal 138)

- Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

من ترك صلاة العصر فقد حبط عمله

"Barang siapa yang meninggalkan sholat ashar maka gugurlah amalannya" (Hr Tirmidzi no 2622, dishohihkan syaekh Al-bani dalam shahih sunan Tirmidzi)

Orang yang gugur amalannya adalah kafir sebagaimana firman Allah :

ومن يكفر بالإيمان فقد حبط عمله وهو فى الأخرة من الخاسرين

"Barangsiapa yang kafir sesudah beriman(tidak menerima hukum-hukum islam) maka gugurlah amalannya dan dia diakhirat kelak termasuk orang-orang yang merugi." (Qs Al-ma'idah : 5)

- Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda :

بين الرجل و بين الكفر ترك الصلاة

"Perbedaan antara seorang muslim dan seorang kafir adalah meninggalkan sholat." (Hr Muslim no 82, Abu Daud no 4678, An-nasa'i no 463)


- Allah Tabaraka wa Ta'ala berfirman :

فإن تابوا و أقاموا الصلاة و ءاتوا
الزكاة فإخوانكم فى الدين

"Jika mereka bertaubat (dari kesyirikannya), mendikan, membayar zakat, maka mereka adalah saudara kalian seagama." (Qs At-taubah : 11)

Dalam ayat ini Allah Azza wa Jalla menyebutkan bahwa diantara persaudaraan seagama apabila seseoarang mendiirikan sholat, hal ini memberi pengertian bahwa jika dia tidak medirikan sholat maka dia bukan saudara seagama dan jika bukan saudara seagama maka berarti dia bukan islam alias kafir/murtad. (Lihat penjelasan syaekh Ibnu Utsaimin dalam Fathu dzil jalali wal ikram syarh bulughul marram)

- Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

خيار أئمتكم الذين تحبونهم و يحبونكم و يصلون عليكم و تصلون عليهم ، وشرار أئمتكم الذين تبغضونهم و يبغضونكم وتلعنونهم و يلعنونكم

"Sebaik-baiknya pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan merekapun mencintai kalian, mereka mendo'akan kalian serta kalianpun mendo'akan mereka. Sejelek-jelek penguasa kalian adalah yang kalian benci dan merekapun membenci kalian serta kalian melaknat mereka dan merekapun melaknat kalian"

قيل يا رسول الله أفلا ننابذهم بالسيف ؟

"Ditanyakan wahai Rasulullah (jika demikian keadaannya) maka bolehkah kami MEMERANGI MEREKA ?

قال : لا ، ما أقاموا فيكم الصلاة

"Nabi menjawab : "Tidak boleh, selama mereka masih melakukan/menegakkan sholat ditengah-tengah kalian." (Hr Muslim, Ad-Darimi, dan Ahmad)

Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam melarang keluar memberontak terhadap penguasa yang masih melakukan/menegakkan sholat, ini menunjukan bahwa mereka(penguasa) yang tidak melakukan/menegakkan sholat boleh keluar memberontak atas kekuasaan mereka(hal ini dilakukan karena dalam anggapan bahwa penguasa tersebut telah kafir dan bolehnya menggulingkan pemerintahan yang kafir hanya saja hal ini dilakukan dengan penuh kehati-hatian dengan mempertimbangkan akibatnya bahwa kemaslahatan dan kenudhoratan yang ditimbulakan oleh tidakan menggulingkan pemerintahan yang kafir tersebut)

- Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

من ترك صلاة متعمدا فقد برئت منه ذمة الله

"Barang siapa yang meninggalkan sholat dengan sengaja maka sungguh terlepas darinya penjagaan/jaminan Allah 'Azza wa Jalla." (Hr Ahmad, Ibnu Majah, Al-baihaqi, Bukhari dalam adabul mufrod. Hadits Shohih ligairihi, dan di shohihkan oleh syaekh Al-bani dalam irwa'ul Ghalil no 2026)

* Berkata Abdullah bin Saqiq Al-uqailiy (seoarang tabi'in) :

ما كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه و سلم يرون شيئا من الأعمال تركه كفر إلا الصلاة

"Tidaklah para sahabat nabi shalallahu 'alaihi wa sallam memandang meninggalkan suatu amalan menyebabkan kufur kecuali sholat" (Shohih dikeluarkan oleh Tirmidzi no 2622)

* Berkata Ibnu Hazm :

اجماع العلماء على أن ترك الصلاة كسلا و تهاونا يكون كفرا مخرجا من الملة

"Ijma(kesepakatn) para ulama bahwa meninggalkan sholat karena malas, dan menganggap remeh menyebabkan kafir yang keluar dari agama/murtad." (Ta'zhim Qadr As-sholah Lil Marwadzi 2/292)

2. Sebagian para fuqoha muta'akhirin berpendapat bahwa meninggalkan sholat karena malas dan menganggap remeh tidak menyebabkan pelakunya terjatuh dalam kufur akbar(kufur yang menyebabkan murtad) melainkan dia hanya terjatuh dalam kufur ashgar(kufur yang tidak menyebabkan murtad) karena pada dirinya ada sebahagian cabang dari cabang keimanan yaitu tashdiq/pembenaran(dia membenarkan dan meyakini kewajiban sholat) hal ini tentunya berbeda dengan orang yang mengingkari atau mendustakan kewajiban sholat.

Dari kedua pendapat para ulama ini yang nampak kuat hujjahnya adalah kelompok yang pertama, namun pada kajian ini kita tidak membahas lebih jauh tarjih/pendapat yang paling terkuat karena sasaran pembahasan kita kali ini adalah bagaimana sikap kita terhadap jenazah orang yang tidak sholat.

√ MENYIKAPI JENAZAH YANG SEMASA HIDUPNYA TIDAK SHOLAT/YANG MENINGGALKAN SHOLAT

Dalam hal ini ada dua keadaan, yaitu :

1. Jika anda adalah orang yang memilih pendapat yang kedua dari pendapat para ulama dan berkeyakinan dengannya yaitu ORANG YANG MENINGGALKAN SHOLAT KARENA MALAS ATAU MENGANGGAP REMEH TIDAK KAFIR NAMUN TERJATUH DALAM KUFUR ASHGAR DAN INI HANYALAH MERUPAKAN DOSA BESAR maka wajib mensholati jenazahnya, karena dia masih muslim dan jenazah seoarang muslim wajib di sholati karena itu adalah haknya.

2. Jika anda adalah orang yang memilih pendapat yang pertama dari pendapat para ulama dan berkeyakinan dengannya yaitu ORANG YANG MENINGGALKAN SHOLAT BAIK KARENA MALAS ATAU SENGAJA/MEREMEHKAN MAKA DIA KAFIR/MURTAD KARENA TERJATUH DALAM KUFUR AKBAR maka tidak boleh bahkan haram hukumnya mensholati jenazahnya, karena jenazah orang kafir tidak boleh disholati. (Silahkan baca lagi kajian bab awal dalam masalah ini yang telah kita sebutkan diawal pembahasan)

* Berkata syaekh Abdul 'Aziz bin Abdullah Ar-roojihi :

ومن ترك الصلاة فإنه يستتاب ، فإنتاب و إلا قتل كفرا، و حينئذ لا يغسل ، ولا يصلى عليه، و لا دفن مع المسلمين في مقابرهم

"Barangsiapa yang meninfgalkan sholat maka diminta untuk bertaubat, jika ia bertaubat maka adalah lebih baik baginya namun jika tidak maka dibunuh sebagia orang yang kafir(dibunuh karena murtad dan hukum murtad adalah dibunuh), dan ketika itu tidak dimandikan dan tidak pula disholati, serta tidak boleh dikuburkan bersama dengan pekuburan kaum muslimin." (Lihat lihat syarh ushulus sunna imam Ahmad oleh syaekh Abdul 'Aziz bin Abdillah Ar-roojahi, hal 142)

* Berkata syaekh muqbil rahimahullah :

فالذي يظهر من الأدلة هو ما ذهب إليه الإمام أحمد بن حنبل أن تارك الصلاة سواء أكان جاحدا أم تهاونا يعتبر كافرا ، و الله المستعان ، ثم بعد ذالك يترتب على هذا أمور : أن الكافر لا يرث المسلم ، و المسلم لا يرث الكافر ، و أيضا لا يجوز للمسلمة أن تتزوج برجل كافر ، ولا يجوز للرجل المسلم أن يتزوج بامرأة لا تصلي ، يترتب عليه أمور كما هو معلوم من أحكام الكفار و أحكام المسلمين

"Yang nampak dari dalil-dalil yang ada adalah pendapat imam Ahmad bin Hambal, bahwa orang yang meninggalkan dholat baik karena menentang hukumnya atau karena meremahkan sama saja dianggap kafir. Allahu Musta'an, kemudian sesudah itu tersusun padanya beberapa perkara :

- orang kafir tidak mewariskan kepada orang muslim
- orang muslim tidak mewariskan kepada orang kafir
- tidak boleh bagi muslimah menikah dengan lelaki kafir
- tidak boleh bagi lelaki muslim menikah denagn wanita yang tidak sholat(karena dianggap kafir)

Tersusun padanya sebagaimana hukum-hukum yang telah dimaklumi dari hukum-hukum orang kafir dan hukum-hukum orang muslim."
(Lihat Ijabatus Saa-il 'ala Ahammil Masaa-il, hal 38-39)

√ TAMBAHAN FAIDAH
------------------------------------

Jika dikatakan bagaimana caranya kami memutuskan permasalah ini ? Maka jawabannya adalah permasalahan hukum orang yang meninggalkan sholat jikq dinaikkan permasalahannya kepada hakim maka keputusan hakim adalah adalah kebijakan untuk menyelesaikan khilaf. Terdapat kaidah menurut ahli ilmu bahwa :

حكم الحاكم يرفع الخلاف

"Keputusan hakim adalah jalan untuk mengangkat/menghilangkan khilaf"

Jika permasalahan orang yang tidak sholat dinaikan ke hakim dan hakim memutuskan bahwa dia dibunuh atas kemurtadannha karena dia dianggap melakukan kufur akbar maka itulah hukum yang berlaku atasnya, namun jika hakim memutuskan bahwa dia dibunuh hanya sebagai penegakkan had/hukum atasnya dan dia tidak murtad karwna dianggap melakukan kufur ashgar, maka itulah hukum yang berlaku atasnya. Artinya keputudan hakim dalam masalah ini adalah hujjah dan sebagai jalan untuk menentramkan khilaf. Wallahu a'lam bis shawab.

Demikianlah kajian singkat ini semoga bermanfaat, dan semoga dapat menjadi hujjah atas kaum muslimin terutama para da'i-da'i kondang yang sudah sibuk dalam medan dakwah namun masih berkeyakinan dengan keyakinan yang bathil yaitu memilih pendapat yang mengatakan orang yang meninggalkan sholat adalah kafir namun sangat aneh dan sangat disayangkan karena setelah mengkafirkan orang yang tidak sholat namun masih mengatakan boleh mensholati jenazahnya, sungguh ini adalah pendapat yang bathil yang tidak pernah diutarakan oleh seorang ulamapun dari kalangan salafus shalih. Karena dengan pendapatnya itu berarti secara tidak langsung dia telah membolehkan mensholati jenazah orang yang murtad. Somaga da'i kondang tersebut bisa rujuk dari pendapatnya dengan kembali mengkaji kitab-kitab para ulama. Sebagai penutup saya nasihatkan kepada diri saya dan para da'i terlebih lagi da'i yang membawa atau menisbatkan dirinya kepada manhaj salaf dan mengaku bahwa dia menyeru ummat krpada manhaj salaf bahwa hendaklah berhati-hati, dan jangan asal bunyi dalam mengeluarkan suatu pendapat hukum sebelum engkau mengkajinya denga baik dan hendaklah engkau memiliki sifat wara' dalam memilih pendapat para ulama serta ketika melontarkan sebuah pendapat kepada para mad'u yang sedang mendengar dan mencatat pendapat-pendapat yang engkau utarakan.

Akhir kalam barakallahu fikum,


Daftar pustaka :
------------------------

√ Al-qur'an Al-Karim

√ Kitab syarh mutun aqidah tepat pada syarah ushulus sunnah imam Ahmad, karya doktor Sa'd bin Nashir asy-syatriy, hal 96.

√ Kitab syarh ushul sunnah imam Ahmad, oleh syaekh Abdul Aziz bin Abdillah Ar-raajahi, hal 137-144.

√ Ar-rasaa-il al-jaliyah fi radd 'Ala Dhalalaat ba'dhi du'aat al-hizbiyah.

√ Ijaabatus Saa-il oleh syaekh Muqbil

√ Fathu dzil jalali wal ikram syarh bulughul maram, oleh syaekh Ibnu Ustaimin.

√ Pembahsan ini bukanlah pembahasan yang meluas tentung hukum jenazah dan sebagainya, namun kami hanya membatasi pada kajian tentang boleh atau tidak mensholati jenazah dalam kondisi yang telah kita sebutkan pada kajian tersebut.

Wallahu waliyyut taufiq.

Daarul Hadits :
Madinatus sunnah Sa'wan - Shon'a - Yaman
4/Syawal/1435 H