Slider

Aktual

Smal Galeri

Artikel

Aqidah

Galeri

Berita

Video

Aboe Bakar Al Habsyi

Politikus PKS Aboe Bakar Al Habsyi Akui Suka Main Perempuan Karena Sunnah   
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Aboe Bakar Al Habsyi mengakui doyan bermain perempuan karena bagian dari sunah. Ini menanggapi soal HP-nya yang disadap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dalam penyadapan itu, anggota Komisi III DPR tersebut sedang berbicara dengan beberapa perempuan.

Menurut Aboe, tidak ada hubungan Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) KPK sebagai pemberantasan korupsi untuk melakukan penyadapan terkait hubungannya dengan beberapa perempuan.

"Ya memang benar, saya sering ngomong soal perempuan. Emang saya sering main perempuan kok, istri-istri saya. Mau istri saya berapa terserah saya," kata Aboe saat rapat dengan KPK, di Gedung DPR, Jakarta, Kamis 27 Juni 2013.

Dia mengemukakan perlunya diatur dalam undang-undang soal penyadapan. Sebab, penyadapan itu telah melanggar hak setiap orang. "Saya lagi marah-marah sama istri saya aja disadap," tegasnya.
(inilah.com dan berbagai sumber lain)
Kunci Kebahagiaan
Oleh: Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah

Sesungguhnya jenis kebahagiaan yang mempengaruhi jiwa ada tiga.

Pertama, kebahagiaan yang berasal dari luar diri manusia. Kebahagiaan ini dipinjamkan kepada manusia dari luar dirinya dan hilang apabila si pemberi pinjaman mengambilnya kembali. Inilah kebahagiaan harta dan kehidupan. Kebahagiaan dan kegembiraan semacam ini seperti kegembiraan orang botak yang bangga dengan kepala anak pamannya yang berambut banyak. Kebahagiaan ini juga seperti kebahagiaan seseorang sebab pakaian dan hiasannya.

Dikisahkan dari sebagian ulama bahwa dia menumpangi sebuah perahu bersama dengan beberapa pedagang, lalu perahu itu pecah. Oleh sebab itu, mereka menjadi hina dalam kefakiran setelah jaya dengan kekayaan. Lalu orang yang berilmu itu sampai kepada negeri itu dan dihormati. Dia dikenal dengan berbagai kelebihan dan karamah. Tatkala mereka, para pedagang, ingin kembali ke negerinya, mereka bertanya kepada orang yang berilmu itu, "Apakah engkau memiliki surat atau keperluan untuk kaummu?" Dia menjawab, "Ya, kalian katakan kepada mereka, 'Jika engkau ingin memiliki harta yang tidak tenggelam di kala perahu pecah, maka ambillah ilmu itu sebagai barang dagangan.'"

Dikisahkan pula, seorang lelaki berwibawa, yang memiliki bentuk perawakan baik dan pakaian indah berkumpul dengan seorang lelaki berilmu. Orang-orang bertanya kepada lelaki yang berilmu itu, "Bagaimana engkau melihatnya?" Dia menjawab, "Saya melihat sebuah rumah bagus, dihias indah, tapi tidak ada orang yang mendiaminya."

Kedua, kebahagiaan jasmani/fisik; seperti fisiknya sehat, seimbang, serasi antara anggota tubuhnya, kebersihan warna dan kekuatan anggota-anggota tubuh. Kebahagiaan ini lebih erat melekat pada diri manusia daripada yang pertama. Tetapi, sebenarnya ia berada di luar zat dan hakekatnya. Sebab manusia benar-benar menjadi manusia karena ruh dan hatinya, bukan karena jasmani dan badannya sebagaimana dikatakan,

"Wahai pelayan jasmani, supaya tidak menderita dalam melayaninya, maka engkau adalah manusia dengan ruh, bukan dengan jasmani."


Penisbatan jasmani kepada ruh dan hatinya seperti penisbatan baju dan pakaian kepada badannya. Sesungguhnya badan itu dipinjamkan kepada ruh dan alat baginya. Badan adalah kendaraan ruh. Karena itu, kebahagiaan manusia atas kesehatan, keindahan, dan kebaikannya adalah bentuk kebahagiaan eksternal/luar diri.

Kebahagiaan ketiga, kebahagiaan hakiki, yaitu kebahagiaan jiwa, ruhani dan hati. Itulah kebahagiaan ilmu yang buahnya berguna. Hanya ilmu seperti itu yang akan kekal dalam segala perubahan dan keadaan. Hanya itu yang akan senantiasa menyertai hamba dalam segala perjalanan dan tiga fasenya, yaitu fase dunia, alam barzakh, dan tempat kekekalan (akhirat). Dengan kebahagiaan inilah, manusia menapaki tangga-tangga keutamaan dan tingkatan-tingkatan kesempurnaan.

Jenis kebahagiaan pertama hanya akan menyertainya di wilayah mana ada harta dan jabatan. Sedangkan yang kedua, pasti hilang dan berganti sejalan dengan berkurang dan melemahnya kondisi penciptaan. Jadi sebenarnya tidak ada kebahagiaan kecuali dalam jenis kebahagiaan yang ketiga dimana ia semakin lama semakin tinggi dan kuat. Apabila harta dan jabatan hilang, maka kebahagiaan ketiga ini adalah harta dan kebanggaan hamba yang akan nampak kekuatan dan pengaruhnya sesudah ruh berpisah dengan badan. Dengan demikian, terputus pulalah dua jenis kebahagiaan pertama.

Kebahagiaan hakiki seperti ini tidak ada yang mengetahui nilai dan yang mendorong untuk mencarinya kecuali ilmu tentang itu. Jadi, lagi-lagi semua kebahagiaan kembali kepada ilmu dan apa yang dituntutnya. Allah akan memberi kepada siapa saja yang dikehendaki. Tidak ada yang dapat menghalangi pemberian-Nya dan tidak ada pula yang mampu memberikan apa yang dihalangi-Nya.

Tetapi, sebagian besar makhluk tidak mau mengusahakan dan memperoleh jenis kebahagiaan ini karena jalannya susah, pahit, dan melelahkan. Kebahagiaan ini hanya bisa diperoleh dengan kerja keras. Kondisinya jauh berbeda dengan dua jenis yang pertama. Karena kedua jenis kenikmatan itu merupakan nasib dan keberuntungan yang bisa didapat tanpa harus mencarinya. Seperti harta warisan, pemberian atau yang lain. Sedangkan kebahagiaan ilmu, tidak ada yang akan memberikan kepadamu kecuali dengan kerja keras, kesungguhan dalam mencari, dan kebenaran niat. Seseorang telah berkata dengan sangat baik dalam hal ini,
"Katakanlah kepada orang yang mengharapkan ketinggian dari segala sesuatu, tanpa bekerja keras, maka engkau mengharapkan kemustahilan."
Dan yang lain berkata,

"Seandainya bukan karena kesusahan, maka semua manusia menjadi jaya/kaya
kedermawanan menjadi langka dan keberanian berarti perang."

Barangsiapa yang memiliki obsesi tentang hal-hal tinggi ini, maka dia wajib mencintai jalan-jalan agama. Inilah kebahagiaan yang hakiki; meskipun tak pernah lepas dari kesulitan, kebencian, dan siksaan. Apabila jiwa dipaksakan dan digiring dalam keadaan patuh serta sabar terhadap berbagai cobaan yang ada, maka kekerasan ini niscaya akan membawa menusia menuju taman yang indah, tempat kebenaran dan tempat mulia. Kenikmatan apa pun kalau belum sampai pada kenikmatan seperti ini hanyalah ibarat kenikmatan anak-anak yang bermain dengan mainannya. Bandingkan kenikmatan anak ini dengan kenikmatan 'hakiki' seorang raja! Maka, saat itu keadaan pemilik kebahagiaan ini menjadi sebagaimana dikatakan,

"Dan aku pernah mengira, aku telah sampai ke puncak cinta sehingga aku tidak mendapat tempat pergi lagi sesudah itu,
Namun ketika kami bertemu dan melihat kebaikannya dengan mata kepala, saya yakin bahwa saya sebenarnya hanya bermain."

Jadi, kemuliaan itu penuh dengan perjuangan dan hal-hal yang dibenci. Kebahagiaan hanya bisa didapat setelah melalui jembatan kesulitan. Anda tidak akan menyelesaikan jarak perjalanan ke sana kecuali dengan perahu kesungguhan dan kerja keras. Muslim berkata dalam kitab Shahihnya bahwa Yahya bin Abu Katsir berkata,"Ilmu tidak dapat diperoleh dengan jasmani yang santai." Dan dikatakan pula,
"Barangsiapa yang mendambakan hidup santai (di akhirat), maka dia harus meninggalkan hidup santai (di dunia)."
"Renungkanlah, bagaimana seorang kekasih tiba kepada-Nya, tanpa ada kesulitan di jalan sama sekali."

Seandainya bukan karena ketidaktahuan sebagian besar orang akan manisnya kenikmatan dan kebesaran nilainya, maka kamu akan dapati mereka merebutkan hal itu dengan pedang. Tapi, kebahagiaan ini diliputi oleh penghalang yang berupa hal-hal yang tidak menyenangkan, dan orang-orang itu pun dihijab dengan hijab kebodohan—supaya Allah dapat mengkhususkannya kepada siapa saja yang dikehendaki Allah. Allah Maha Memiliki keutamaan dan keagungan.



Sumber: Mukhtasar Miftahu Daar As-Sa'ada (edisi terjemahan: Kunci Kebahagiaan) oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, hal. 215-217, Penerbit: Pustaka Akbar, 2004

khayla.net
Golongan yang Tidak Layak Memiliki Ilmu
oleh: Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah

Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu yang menyebutkan macam-macam orang yang mempunyai ilmu namun mereka tidak layak untuk memilikinya. Mereka ada empat golongan.

Golongan pertama: yang tidak dapat dipercaya memegang amanah ilmu. Yaitu, orang yang diberi karunia kecerdasan dan hafalan, tapi ia tidak dikaruniai kebersihan hati. Akhirnya ia menjadikan ilmu -yang merupakan alat agama— sebagai alat dunia. Ia mencari dunia dengan ilmu itu. Ia memfungsikan komoditi perdagangan akhirat menjadi alat dagang dunia. Orang seperti ini tidak amanah terhadap ilmu yang ; dimilikinya. Allah subhanahu wata'ala sekali-kali tidak menjadikannya imam bagi ilmu itu. Sebab, orang yang amanah adalah orang yang tidak punya tujuan dan keinginan pribadi selain mengikuti serta mendapatkan kebenaran, sehingga ia tidak memburu kekuasaan dan dunia dengannya. Orang yang telah menjadikan komoditi akhirat sebagai alat dagang dunia telah mengkhianati Allah subhanahu wata'ala, mengkhianati hamba-hamba-Nya, dan mengkhianati agama-Nya. Oleh sebab itu, Imam Ali mengungkapkan orang pertama ini dengan "orang yang tidak amanah atas ilmu."

Perkataan Ali radhiallau anhu selanjutnya, 'ia mengedepankan ilmu -yang merupakan karunia Allah Subhanahu wata'ala- atas kitab-Nya, dan menyombongkan diri di hadapan hamba-hamba-Nya dengan nikmat-nikmat-Nya'. Ini adalah karakter pengkhianat tersebut. Apabila dikaruniai nikmat, ia sombong di depan manusia. Apabila menguasai ilmu, ia mengedepankan ilmu itu atas Kitabullah dan menjadikannya pegangan. Ini adalah sikap banyak orang yang telah menguasai suatu ilmu. Mereka merasa cukup dengan ilmu itu, mengutamakannya dan menjadikan Kitabullah sebagai pengikut ilmunya. Ini bukanlah sikap para ulama. Karena orang yang benar-benar alim akan mengedepankan Kitabullah atas segala hal yang lain, dan menjadikannya patokan keputusan hukum dan timbangan atas segala hal, sebagaimana Allah SWT telah menjadikan Al-Qur’an sebagai imam. Jadi, orang yang mengedepankan Al-Qur’an itu adalah orang yang mendapat petunjuk dan berbahagia, sedang yang mengutamakan sesuatu yang lain atasnya adalah orang yang sesat dan celaka. Ini adalah ihwal dan sikap orang yang menyibukkan diri dengan sesuatu selain Kitabullah, merasa cukup dengannya, dan mengedepankannya serta mengakhirkan Al-Qur'an.

Golongan kedua: orang yang tunduk, tapi hatinya belum mantap. Pengetahuannya terhadap ilmu itu lemah, tapi dia patuh kepada para ulama. Ini adalah keadaan para pengikut kebenaran, yaitu orang-orang yang taklid. Orang-orang ini, meski berada di jalan keselamatan, bukanlah para penyeru (dai) kepada agama. Mereka hanyalah pada posisi serdadu biasa, bukan panglima dan jenderal.

Perkataan Ali radhiallahu anhu, keraguan tertanam di hatinya begitu menjumpai isu meragukan, karena ilmunya lemah dan pengetahuannya minim. Apabila hatinya dilanda keraguan sekecil apa pun, maka ia goyah. Berbeda dengan orang yang kokoh dalam ilmunya. Apabila ia diterpa badai keraguan sekuat hempasan gelombang laut, keyakinannya tidak berubah dan tidak muncul kebimbangan dalam hatinya. Sebab, ia telah kokoh dalam ilmu sehingga keraguan tidak mempermainkannya. Bahkan, apabila keraguan datang, penjagaan 'bala tentara' ilmu mampu menolaknya.

Keraguan itu datang melanda hati dan menghalangi tersingkapnya kebenaran. Selama hati telah tersentuh dengan hakikat ilmu, maka keraguan tidak akan berpengaruh padanya. Bahkan, dengan mengusirnya dan mengetahui kebatilannya, hati bertambah kuat dan keyakinan makin teguh. Sebaliknya jika hakikat ilmu tentang kebenaran belum menyentuh hati, maka sekali muncul keraguan maka ia akan goyah. Syukur bila cepat disadari. Bila tidak, maka ye ang berikutnya akan beruntun susul-menyusul menimpa hati sehingga orang tersebut akhirnya menjadi orang yang peragu dan bimbang.

Hati dilanda oleh dua macam tentara kebatilan yaitu syahwat dan syubhat (keraguan). Setiap hati yang menerima dan menyambutnya akan merekamnya hingga penuh. Pengaruhnya menjalar sampai ke lisan dan organ-organ tubuhnya. Apabila yang merasuki hati adalah syubhat-syubhat batil, maka meledaklah keraguan melalui lisannya. Sehingga, orang yang bodoh menyangka bahwa hal itu karena ilmunya luas. Padahal, itu terjadi akibat dari dia tidak berilmu dan tidak punya keyakinan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata kepadaku -ketika aku terlalu banyak mengemukakan syubhat dan bantahan-bantahan orang, "Janganlah engkau memenuhi hatimu dengan bantahan dan syubhat seperti bunga karang yang selalu menerima dan penuh dengan benda asing, sehingga akhirnya engkau hanya menyebarkan syubhat-syubhat itu. Tapi, jadikanlah hatimu itu seperti kaca bening. Syubhat boleh lewat di luarnya, tapi tidak berdiam di sana. Ia dapat melihat syubhat itu dengan kejernihannya, dan menolaknya dengan kepadatannya. Jika tidak begitu, dan engkau menghirup semua syubhat yang menimpa hatimu, maka hatimu itu akan menjadi tempat bersemayamnya syubhat-syubhat." Wasiat ini amat bermanfaat bagiku dalam menolak syubhat.

Syubhat dinamai demikian karena mengandung ketidakjelasan kebenaran dengan kebatilan. Syubhat membungkus jasad kebatilan dengan baju kebenaran. Sementara itu, kebanyakan manusia melihat kepada kulit penampilan luar yang baik. Maka, orang yang melihat syubhat itu akan melihat baju yang dikenakannya sehingga beranggapan bahwa ia itu benar. Tapi, ulama -orang yang berilmu dan mempunyai keyakinan teguh—tidak terpedaya dengan hal itu. Pandangannya menembus ke batin syubhat dan apa yang di balik bajunya sehingga hakikatnya terungkap di matanya. Permisalan untuk ini adalah dirham (uang perak) palsu. Orang yang tidak mengerti tentang logam mulia akan tertipu karena melihat lapisan peraknya. Tapi orang yang paham dan jeli, pandangannya melampaui kulit luar sehingga ia dapat mengetahui kepalsuannya. Nah, ucapan yang indah dan fasih bagi syubhat adalah seperti lapisan perak bagi dirham palsu. Dan, makna ucapan itu sendiri seperti perunggu yang dibungkus dengan perak itu tadi.

Kalau orang yang berakal dan cerdas memperhatikan dan merenungkan hal ini, ia melihat kebanyakan manusia menerima mazhab dan pendapat dengan suatu lafal dan menolaknya bila diungkapkan dengan lafal lain. Dalam berbagai buku, aku temukan hal seperti ini yang sangat banyak. Betapa banyak kebenaran ditolak orang karena dijelek-jelekkan dengan bungkusan baju kata-kata yang keji.

Dalam hal semacam ini, para imam Ahli Sunnah, di antaranya Imam Ahmad, menyatakan, "Kami tidak menghilangkan salah satu dari sifat Allah subhanahu wata’ala dikarenakan sebuah kekejian yang dibuat suatu pihak." Contohnya, orang-orang Jahmiyyah menamakan pemberian sifat-sifat kesempurnaan untuk Allah subhanahu wata’ala yang berupa hayat, 'Urn, kalam, soma', bashar dan Iain-lain yang Allah subhanahu wata’ala sebutkan sendiri sebagai tasybih dan tajsim[1], dan menyebut orang yang memberikan sifat itu dengan nama mujassim[2].. Akibat penyebutan yang keji ini, orang-orang yang berpikiran pendek dan pemahamannya dangkal akan menjauhi dan tidak menerima pemberian sifat kesempurnaan kepada Allah subhanahu wata’ala.

Semua penganut suatu kepercayaan atau aliran membungkus aliran dan pendapat mereka dengan lafal-lafal terbaik semampu mereka; dan membungkus pendapat orang yang berseberangan dengan lafal-lafal yang paling buruk. Orang yang dikaruniai oleh Allah subhanahu wata’ala pemahaman yang dalam mampu mengungkap hakikat kebenaran dan kebatilan di balik lafal-lafal itu. Ia tidak terpedaya dengan lafal.

Maka, apabila Anda ingin mengetahui hakikat sebenarnya dari suatu makna, apakah ia hak atau batil, lepaskan ia dari baju lafalnya dan bersihkan hatimu dari kecenderungan dan kebencian, lalu pikirkanlah dengan dalam dan adil. Jangan seperti orang yang menimbang pendapat para sahabatnya dengan sepenuh hatinya. Tapi, giliran ia menimbang pendapat lawan ia seperti memandang kepada percikan api. Karena, orang yang menimbang dengan hati permusuhan akan melihat kebaikan sebagai sesuatu yang buruk, dan orang yang menimbang dengan hati cinta sebaliknya. Hanyalah orang yang Allah subahanhu wata’ala kehendaki dan ridhai untuk menerima kebenaran yang akan selamat dari aib ini. Ada yang berkata,
Pandangan ridha mampu menutupi setiap cacat
sebagaimana pandangan benci selalu menampakkan keburukan."

Yang lain berkata,
Mereka memandang dengan pandangan permusuhan
seandainya dengan pandangan ridha pasti mereka menganggap baik sesuatu yang buruk."

Kalau ini berkaitan dengan penglihatan mata kasat yang menjangkau hal-hal kongkrit yang tidak dilebih-lebihkan, apalagi pandangan mata hati yang menjangkau makna-makna abstrak yang biasanya mudah terkena penyakit pengingkaran. Hanya kepada Allah subhanahu wata’ala kita meminta bimbingan untuk mengetahui dan menerima kebenaran dan menolak kebatilan serta tidak terpedaya dengannya.

Perkataan Ali radhiallahu anhu, begitu menjumpai syubhat, merupakan bukti kelemahan akal dan makrifat orang tersebut, karena dia dapat terpengaruh dan terombang-ambing oleh hal-hal sepele dan kecil. Berbeda dengan orang yang berakal jernih dan teguh, hal-hal kecil tidak dapat mengguncang dan mempermainkannya. Pada awalnya, kebatilan mengejutkan, namun bila hatinya tegar, ia mengusirnya mundur ke belakang.

Allah subhanahu wata’ala mencintai orang yang mempunyai ilmu dan tidak tergesa-gesa. Ia tidak bertindak hingga ia mengetahui dan meyakini apa yang sedang melandanya. Ia tidak terburu-buru mengeluarkan keputusan atau melakukan tindakan sebelum benar-benar mengetahuinya dengan dalam. Ingat, tergesa-gesa adalah dari setan. Maka, orang yang tegar berhadapan dengan guncangan karena hal-hal kecil, ia menghadapi urusannya dengan ilmunya dan ketegasan. Sedangkan, orang yang tidak tegar akan menghadapinya dengan tergesa-gesa dan kacau, akibatnya adalah penyesalan. Orang yang pertama berujung pada keberuntungannya.

Hanya saja orang pertama menghadapi sebuah kekurangan juga. Tapi, selama kekurangan itu diiringi dengan keteguhan dan ketegasan, ia akan selamat darinya. Yaitu, lolosnya godaan tersebut masuk ke dalam hatinya. Tidak ada yang dikhawatirkan dari sikap teguh selain bahaya ini. Akan tetapi, bila dibarengi dengan keteguhan dan ketegasan, maka tidak ada masalah yang timbul. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. berdoa seperti diriwayatkan oleh Ahmad dan Nasa'i,

Ya Allah, aku memohon kepada-Mu, kemantapan dalam urusanku dan keteguhan dalam kebenaran."
Dua kata ini (tsabat dan 'azimah) adalah inti keberuntungan. Seseorang tidak mendapat celaka dan masalah kecuali karena mengabaikan keduanya atau salah satunya. Seseorang tidak menemui masalah melainkan sebab tergesa-gesa, kacau, dan mudah dipermainkan oleh hal-hal permukaan kecil; atau karena menyepelekan dan menyia-nyiakan kesempatan yang datang. Apabila telah ada kemantapan (tsabat), lalu ada juga keteguhan ('azimah), seseorang tersebut benar-benar beruntung. Wallahu waliyyut taufiq.

Golongan ketiga: orang yang keinginannya mencari kesenangan. la tunduk kepada dorongan nafsu di manapun berada. la tidak dapat memperoleh derajat pewaris para nabi, karena ilmu tidak diraih melainkan dengan meninggalkan kesenangan dan menceraikan kemalasan. Imam Muslim berkata dalam shahihnya bahwa Yahya bin Abi Katsir berkata, "Ilmu tidak didapatkan dengan bersantai-santai."

Ibrahim al-Harby berkata, "Para cendekiawan seluruh umat sepakat bahwa kesenangan tidak dapat diraih dengan kesenangan. Orang yang memilih santai, maka sesuatu yang nikmat akan terlepas darinya."

Jadi, tidak mungkin orang yang mementingkan kenikmatan dan kesenangannya akan mendapat derajat sebagai pewaris para nabi.
Tinggalkanlah menulis karena engkau bukan ahlinya walaupun engkau hitamkan wajahmu dengan tinta."
Ini karena ilmu adalah aktivitas dan pekerjaan hati. Selama hati tidak mengkonsentrasikan dirinya terhadap aktivitasnya, ia tidak dapat meraihnya. Dan hati hanya punya satu arah kiblat. Kalau ia mengarahkan hatinya ke kesenangan dan nafsu syahwat, ia berpaling dari ilmu. Orang yang tidak memenangkan kenikmatan dan keinginan untuk meraih ilmu, tidak akan pernah memperoleh ilmu itu. Apabila keinginan terhadap kenikmatan ilmu telah menguasai seluruh indera dan raganya, ada harapan ia akan termasuk golongan para ulama.

Kenikmatan ilmu adalah kenikmatan akal dan ruhani, seperti kenikmatan yang dirasakan para malaikat. Sedang nikmatnya karena makan, minum, nikah adalah kenikmatan hewani. Manusia sama dengan hewan dalam masalah itu. Adapun nikmatnya kejahatan, kezaliman, dan kerusakan adalah kenikmatan setan. Para pelakunya sama dengan iblis dan tentara-tentaranya. Seluruh kenikmatan lenyap dengan berpisahnya ruh dari badan, kecuali nikmatnya ilmu dan iman. Kenikmatan ini justru tambah sempurna setelah perpisahan ruh dan badan itu, karena badan dan hal-hal yang dulu menyibukkannya mengurangi, menyedikitkan, dan menghalangi kenikmatannya. Apabila ruh telah terpisah dari badan, ia mencapai kenikmatan utuh dengan ilmu yang bermanfaat dan amal saleh yang ia kerjakan. Maka, orang yang mencari kenikmatan yang paling besar dan mengutamakan kenikmatan yang abadi berada di jalan ilmu dan iman yang menjadi inti sempurnanya kebahagiaan manusia.

Juga, kenikmatan-kenikmatan hewani itu cepat hilang. Apabila telah habis, akan diganti dengan perasaan murung dan sedih. Bukankah orang yang ditimpa musibah seperti itu perlu mengobatinya dengan hal yang sebanding untuk mengusir rasa sakitnya? Mungkin pengobatan itu menyakitkannya dan ia benci, namun ia harus menanggungnya untuk mengobati kesedihannya. Jauh sekali ini dengan kenikmatan ilmu, iman, cinta kepada Allah, dan merasa nikmat dengan zikir. Inilah kenikmatan dan kelezatan hakiki itu.

Golongan keempat: orang yang seluruh keinginannya tercurah pada mengumpulkan, mengembangkan, dan menyimpan harta. Kesenangan dan kenikmatannya ada pada hal-hal tersebut. Ia menghabiskan usia untuk semua itu. Ia tidak melihat adanya sesuatu yang lebih nikmat daripada yang ia senangi itu. Alangkah jauhnya ia dari derajat orang-orang berilmu.

Keempat golongan ini bukanlah termasuk dai-dai agama, atau para pemuka ulama, bukan pula para pencari ilmu. Sebagian dari mereka yang kelihatannya mempunyai ilmu, hanyalah orang-orang yang berpura-pura menjadi ulama, mengklaim diri mereka berilmu tapi sebenarnya tidak punya apa-apa. Bahaya dari orang-orang ini adalah cobaan bagi setiap orang yang lengah. Manusia akan meniru-niru mereka karena menyangka mereka benar-benar berilmu dengan berkata, "Kami tidaklah lebih baik dari mereka dan kami tidak mengutamakan diri kami atas mereka." Jadilah mereka rujukan orang-orang lengah tersebut. Oleh karena itulah, seorang sahabat menyindir mereka dengan ucapannya, "Berhati-hatilah terhadap bahaya orang alim yang berakhlak bejat dan ahli ibadah yang bodoh, karena bahaya mereka berdua adalah cobaan bagi setiap orang yang lengah."

Perkataan Ali radhiallahu anhu, hewan ternak lebih mirip dengan mereka, penyamaan ini diambil dari firman-Nya, "Mereka seperti hewan ternak. Bahkan, mereka lebih buruk lagi." Dalam ayat ini, Allah SWT bukan hanya menyerupakan mereka dengan hewan ternak, melainkan menyatakan mereka lebih sesat.

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib menyerupakan mereka dengan hewan ternak karena keinginan mereka hanya memburu dunia.

Allah Subhanahu wata’ala menyerupakan orang-orang bodoh dan sesat terkadang dengan (1) hewan ternak, (2) dengan keledai —ini adalah perumpamaan bagi orang yang mempelajari ilmu tapi tidak memahaminya dan tidak mengamalkannya, ia seperti keledai yang membawa buku—, (3) dan terkadang dengan anjing - ini adalah bagi yang meninggalkan ilmu dan tenggelam dalam nafsu syahwat.


____________________
Catatan Kaki:
[1] Tasybih adalah menyamaka Allah dengan makhluk, Tajsim adalah menganggap Allah mempunya tubuh seperti manusia.
[2] Mujassim adalah orang yang mengatakan bahwa Allah mempunyai tubuh seperti manusia.

Sumber: Mukhtasar MIFTAH DAAR AS-SA'ADAH oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (judul terjemahan: Kunci Kebahagiaan),hal. 266 - 271, Cetakan Pertama, Penerbit Pustaka Akbar, 2004.
khayla.net
بسم الله الرحمن الرحيم
RENUNGAN TENTANG AGUNGNYA
KEDUDUKAN ILMU

oleh: Ustadz Abdullah Taslim, Lc.

الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وآله وصحبه أجمعين، أما بعد


Pendahuluan
Tulisan ringkas ini anggap saja sebagai pengetuk hati para ikhwah penuntut ilmu agama, yang mungkin sedang terlena sehingga mereka kurang menyadari agungnya kemuliaan jalan ilmu yang sedang mereka tempuh, bahkan malah menyibukkan diri dan memberikan perhatian besar pada kebanggaan-kebanggaan duniawi yang semu dan rendah, yang hanya sepantasnya dilakukan oleh orang-orang awam yang jauh dari bimbingan ilmu. Padahal kalau seandainya mereka benar-benar menyadari tingginya kedudukan ilmu ini niscaya mereka tidak akan menoleh sedikitpun pada kebanggaan-kebanggaan semu tsb. Oleh karena itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan orang-orang yang berilmu untuk berbangga dan merasa cukup dengan kemuliaan ilmu yang mereka miliki, yang itu jauh lebih baik dan mulia dibandingkan semua kemewahan duniawi yang berlomba-lomba dikumpulkan oleh kebanyakan manusia, Allah Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ بِفَضْلِ اللّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُواْ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ

“Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka (orang-orang yang berilmu) bergembira (berbangga), kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa (kemewahan duniawi) yang dikumpulkan (oleh manusia)" (QS Yunus:58).

Ketika menerangkan ayat ini Ibnul Qayyim berkata: Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan kepada orang-orang yang berilmu untuk merasa bangga (gembira) dengan (ilmu) yang Allah Azza wa Jalla anugrahkan kepada mereka, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala nyatakan bahwa anugrah tsb sungguh lebih baik daripada (kemewahan dunia) yang dikumpulkan oleh (kebanyakan) manusia, dalam firmannya – kemudian beliau menyebutkan ayat tsb di atas – dan beliau menambahkan:”Karunia Allah” (dalam ayat ini) ditafsirkan (oleh para ulama ahli tafsir) dengan “keimanan”, sedangkan “Rahmat Allah” ditafsirkan dengan “Al Qur-an”, yang keduanya (keimanan dan Al Qur-an) adalah ilmu yang bermanfaat dan amalan shaleh, sekaligus keduanya merupakan petunjuk dan agama yang benar (yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu wa Sallam seperti yang Allah sebutkan dalam QS Ash Shaff: 9), dan keduanya adalah ilmu dan amal yang paling agung.

Agungnya ilmu dan orang-orang yang memilikinya

Di antara agungnya keutamaan ilmu yang mungkin bisa menjadi renungan bagi kita semua adalah apa yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim sewaktu beliau menerangkan makna hadits Qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari (no.6502) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: (( Barangsiapa yang memusuhi wali (kekasih)-Ku maka sungguh Aku telah menyatakan perang (permusuhan) kepadanya, …)), bahwa “pewaris para Nabi Shallallahu wa Sallam (orang-orang yang berilmu) adalah pimpinan para wali (kekasih) Allah Azza wa Jalla”. Hal ini sangat jelas sekali, karena dalam Al Qur-an Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri yang menjelaskan dua sifat utama yang dimiliki para wali-Nya, yaitu keimanan dan ketakwaan, dalam firman-Nya:


أَلا إِنَّ أَوْلِيَاء اللّهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ الَّذِينَ آمَنُواْ وَكَانُواْ يَتَّقُونَ

“Ketahuilah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati, (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa” (QS Yunus:62-63).

Dan kedua sifat ini (iman dan takwa) tidak akan mungkin didapatkan kecuali dengan ilmu, karena “Iman” itu hakikatnya adalah ilmu yang bermanfaat dan amalan shaleh – seperti ucapan Ibnul Qayyim di atas –, sebagaimana “Takwa” salah satu rukun utamanya adalah ilmu yang bermanfaat.

Oleh karena agungnya kedudukan orang-orang yang berilmu inilah, Allah Azza wa Jalla menjadikan kecintaan dan penghormatan kepada mereka sebagai bagian dari agama dan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana ucapan seorang sahabat besar yang mulia Ali bin abi Thalib radhiallahu anhu: “Mencintai orang yang berilmu adalah (termasuk) agama (ibadah) untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala”, bahkan lebih dari pada itu, Allah menjadikan sikap membenci, mencela atau menghinakan orang yang berilmu – karena ilmu agama yang mereka bawa, bukan karena tingkah laku atau kepribadian mereka semata-mata – sebagai perbuatan dosa yang sangat besar, bahkan salah satu perbuatan yang bisa membatalkan keislaman seseorang, berdasarkan Firman-Nya:


وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ لاَ تَعْتَذِرُواْ قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, "Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”, Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kamu berolok-olok?, Tidak usah kamu minta maaf, Karena kamu telah menjadi kafir sesudah beriman” (QS At Taubah 65-66).

Demikian juga karena agungnya kedudukan mereka, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan hati orang-orang yang beriman senantiasa dipenuhi rasa cinta dan penghormatan terhadap orang-orang yang berilmu, karena Allah Azza wa Jalla jika mencintai seorang hamba maka Dia akan menjadikan semua makhluk-Nya yang ada di langit dan di bumi mencintai hamba tsb. Dalam hadits yang shahih riwayat Imam Al Bukhari (no. 3037, 5693 dan 7047) dan Imam Muslim (no. 2637-157) dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu wa Sallam bersabda: “Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala mencintai seorang hamba, Dia akan memanggil Jibril dan berfirman: “Sesungguhnya Aku mencintai si fulan, maka cintailah dia!”, maka Jibrilpun mencintai hamba tsb, kemudian Jibril menyeru kepada penduduk langit (para malaikat): “Sesungguhnya Allah mencintai si fulan maka kalian cintailah dia!”, maka penduduk langitpun mencintainya, kemudian dijadikan bagi hamba tsb penerimaan (kecintaan dalam hati) pada penduduk bumi”. Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya para Malaikat merendahkan sayap-sayap mereka karena keridhaan mereka terhadap orang yang menuntut ilmu, dan sesungguhnya semua makhluk yang ada di langit dan di bumi, sampai ikan di dalam lautan benar-benar akan (memanjatkan doa) memintakan pengampunan (kepada Allah) untuk orang yang berilmu”.

Kecintaan dan penghormatan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan bagi orang-orang yang berilmu ilmu, adalah kecintaan dan penghormatan yang benar-benar murni bersumber dari dalam hati manusia, lain halnya dengan penghormatan manusia kepada orang yang memiliki harta atau kekuasaan misalnya, yang hanya berupa penghormatan dalam bentuk lahiriyah, yang bahkan terkadang diiringi dengan kebencian dalam hati. Sehingga wajar kalau kita dapati para ulama ahlus sunnah demikian dicintai dan dihormati oleh orang-orang yang shaleh, bahkan setelah mereka wafatpun mereka tetap dipuji dan selalu didoakan dengan kebaikan, padahal banyak di antara mereka yang tidak memiliki harta atau kekuasaan duniawi. Hal ini dikarenakan adanya suatu keistimewaan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan pada ilmu agama, yaitu kemampuan dan kekuatan untuk menundukkan dan menguasai hati manusia, sehingga menjadikan hati mereka tunduk kepada orang yang membawa ilmu tsb, yang semua ini tidak ada pada harta atau kekuasaan duniawi. Oleh karena itulah dalam banyak ayat Al Qur-an Allah Subhanahu wa Ta’ala menamakan dalil-dalil ilmiyah dari Al Qur-an dan Sunnah dengan nama “Sulthan” (sesuatu yang memiliki kekuatan dan kemampuan menundukkan), berkata Ibnu ‘Abbas radhiallahu anhu: “Semua (lafazh) sulthan dalam Al Qur-an (artinya) adalah Hujjah (dalil/argumantasi ilmiyah dari wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala).

Kisah para ulama salaf dan bukti nyata keagungan ilmu

Sebagai penutup, untuk memperjelas dan melengkapi keterangan di atas, kami akan bawakan beberapa atsar (riwayat) dari biografi para ulama Ahlus sunnah, yang menunjukkan kepada kita besarnya kecintaan dan penghormatan manusia kepada orang-orang yang berilmu, yang bahkan melebihi penghormatan mereka kepada orang-orang yang memiliki harta dan kekuasaan duniawi:


  • Atsar yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam “Shahihnya” (1/559) (no.817) dari ‘Amir bin Waatsilah bahwa Naafi’ bin ‘Abdil Haarits – yang dijadikan oleh ‘Umar bin Al khaththab radhiallahu anhu sebagai gubernur wilayah Mekkah – pernah menemui ‘Umar di daerah ‘Asfan, maka ‘Umar bertanya kepadanya: Siapa yang engkau jadikan penggantimu memimpin penduduk lembah itu (Mekkah)? Naafi’ berkata: Ibnu Abza. ‘Umar bertanya (lagi): Siapa Ibnu Abza itu? Naafi’ berkata: (Dia adalah) salah seorang bekas budak dari kalangan kami. (Maka) ‘Umar berkata: Engkau menjadikan seorang bekas budak yang memimpin mereka? Naafi’ berkata: (Aku memilih dia karena) dia adalah seorang yang (ahli) membaca Al Qur-an dan memiliki ilmu tentang syariat islam. (Maka) ‘Umar berkata: Ketahuilah, sungguh Nabi Shallallahu wa Sallam pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah akan meninggikan (derajat) suatu kaum dengan kitab (Al Qur-an) ini dan akan merendahkan (derajat) kaum lainnya dengan kitab ini (pula)”.


  • Dalam kitab “Siyaru a’laamin nubala’” (2/437) Imam Adz Dzahaby membawakan sebuah Atsar dari Abu Salamah bahwa suatu hari Ibnu ‘Abbas radhiallahu anhu bangkit menuju ke arah Zaid bin Tsabit radhiallahu anhu kemudian memegang (menuntun) hewan tunggangan beliau, maka Zaid berkata: Menyingkirlah wahai putra paman Rasulullah Shallallahu wa Sallam! Ibnu ‘Abbas pun berkata: Sungguh beginilah (cara) kami memperlakukan orang-orang yang berilmu dan lebih senior di antara kami.

  • Atsar yang diriwayatkan oleh Imam Ibnul Jauzy dalam kitab beliau “Shifatush shafwah” (2/212) dalam biografi seorang Imam besar dari kalangan Tabi’in, ‘Atha’ bin Abi Rabah, dari Ibrahim bin Ishak Al Harby dia berkata: ‘Atha’ bin Abi Rabah dulunya adalah seorang budak (berkulit) hitam milik seorang wanita penduduk Mekkah, (bentuk) hidungnya seperti kacang tanah. (Suatu hari) Amirul mu’minin (khalifah) Sulaiman bin ‘Abdil Malik bersama dua putranya datang menemui beliau (untuk bertanya tentang masalah manasik haji), kemudian duduklah mereka bertiga menghadap beliau yang (pada waktu itu) sedang melakukan shalat (sunnah), setelah selesai shalat (barulah) beliau menghadap kearah mereka, maka tidak henti-hentinya mereka bertanya kepada beliau tentang manasik haji, sampai (akhirnya) beliau memunggungi mereka, kemudian Sulaiman bin ‘Abdil Malik berkata kepada kedua putranya: Berdirilah, maka mereka pun berdiri, lalu dia berkata: Wahai kedua putraku, janganlah kalian malas dalam menuntut ilmu, karena sungguh aku tidak bisa melupakan (bagaimana) hinanya kita di hadapan budak (berkulit) hitam ini.

  • Atsar yang diriwayatkan diriwayatkan oleh Imam Abul Hajjaj Al Mizzy dalam kitab beliau “Tahdziibul kamaal” (5/169, cet. muassatur risaalah) dalam biografi Imam ‘Atha’ bin Abi Rabah, dari Al Ashma’i dia berkata: (Suatu hari) ‘Atha’ bin Abi Rabah masuk (ke istana menemui) ‘Abdul Malik bin Marwan (Khalifah) yang (pada waktu itu) sedang duduk di atas singgasananya dan di sekelilingnya para pembesar dari setiap suku, kejadian ini (berlangsung) di Mekkah ketika ‘Abdul Malik (menunaikan ibadah) haji di masa pemerintahannya. Maka ketika ‘Abdul Malik melihat ‘Atha’, dia (langsung) berdiri (menyambut) dan mengucapkan salam kepadanya, (bahkan) kemudian dia mendudukkan ‘Atha’ bersamanya di atas singgasana, lalu dia duduk dihadapan ‘Atha’ dan berkata kepadanya: Wahai Abu Muhammad (‘Atha’), apa keperluanmu? Maka ‘Atha’ berkata: Wahai Amirul mu’minin, bertakwalah kepada Allah di tanah haram Allah (Mekkah) dan tanah haram Rasul-Nya Shallallahu wa Sallam serta perhatikanlah kemakmurannya. Bertakwalah kepada Allah terhadap keturunan (para sahabat) Muhajirin dan Anshar, karena sesungguhnya dengan sebab merekalah engkau (bisa) mencapai kedudukan ini. Bertakwalah kepada Allah terhadap para pejuang islam yang berjihad di garis perbatasan, karena sesungguhnya mereka adalah benteng (pelindung) kaum muslimin. Perhatikanlah keadaan kaum, karena engkau sendirilah yang akan dimintai pertanggungjawaban tentang mereka. Bertakwalah kepada Allah terhadap orang-orang ada di depan pintumu (yang ingin menemuimu), janganlah engkau melalaikan mereka dan menutup pintumu di hadapan mereka (tidak mau menemui mereka). Maka ‘Abdul Malik menjawab: Akan aku lakukan. Kemudian ‘Atha’ bangkit dan (ingin) pergi, tapi ‘Abdul Malik menahannya dan berkata: Wahai Abu Muhammad, yang engau minta tadi adalah kebutuhan orang lain dan kami telah penuhi kebutuhan itu, kebutuhanmu sendiri apa? Maka ‘Atha’ berkata: Aku tidak punya kebutuhan apapun kepada makhluk. Kemudian dia keluar, lalu ‘Abdul Malik berkata: Ini adalah kemuliaan (yang sesungguhnya), ini adalah kedudukan tinggi (yang sebenarnya).
  • Atsar yang juga diriwayatkan oleh Imam Adz Dzhaby dalam “Siyaru a’lamin nubala” (8/384) dalam biogarafi seorang Imam besar dari kalangan Atba’ut tabi’in, ‘Abdullah bin Al Mubarak, dari Asy’ats bin Syu’bah Al Mishshiishy dia berkata: (Suatu hari Khalifah) Harun Ar Rasyid berkunjung ke (daerah) Ar Raqqah, (kemudian datang ‘Abdullah bin Al Mubarak), maka orang-orang pun berlarian di belakang ‘Abdullah bin Al Mubarak sehingga sandal-sandal mereka terlepas dan debu beterbangan. Maka (ketika itu) budak wanita (yang telah mempunyai anak) dari Harun Ar Rasyid menengok dari bangunan tinggi pada sebuah istana (yang terbuat dari) papan dan berkata: Ada apa? Orang-orang pun menjwab: (Ada) seorang yang berilmu (‘Abdullah bin Al Mubarak) dari Khurasan (baru) datang. Maka wanita tsb berkata: Demi Allah, inilah kerajaan (kekuasaan yang sebenarnya), bukan (seperti) kekuasaan Harun Ar Rasyid yang tidak mampu menghimpun manusia kecuali (dengan bantuan) para prajurit dan pengawal.

  • Atsar yang diriwayatkan oleh Imam Abul Hajjaj Al Mizzy dalam kitab beliau “Tahdziibul kamaal” (5/169) dalam biografi Imam ‘Atha’ bin Abi Rabah, dari Muhammad bin Muslim Az Zuhry dia berkata: Aku (pernah) datang menemui (khalifah) ‘Abdul Malik bin Marwan, lalu dia bertanya: Dari mana engkau datang wahai Zuhry? Aku menjawab: Dari Mekkah. Dia bertanya (lagi): Siapa yang engkau tinggalkan (di sana) memimpin Mekkah dan penduduknya? Aku menjawab: ‘Atha’ bin Abi Rabah. Dia berkata: (Apakah) dia dari (kalangan) orang Arab (asli) atau dari (kalangan) orang-orang bekas budak? (Maka) aku menjawab: (Dia) dari kalangan bekas budak. Dia berkata (lagi): Dengan apa dia memimpin mereka? Aku menjawab: Dengan agama (ketaatan beribadah) dan riwayat (pengetahuan tentang hadits Nabi Shallallahu wa Sallam). (Maka) dia berkata: Sesungguhnya orang yang taat beribadah dan memiliki pengetahuan tentang hadits Nabi Shallallahu wa Sallam memang pantas untuk memimpin (manusia), siapakah yang memimpin penduduk Yaman? Aku menjawab: Thaawus bin Kaisan. Dia bertanya (lagi): (Apakah) dia dari (kalangan) orang Arab (asli) atau dari (kalangan) orang-orang bekas budak? (Maka) aku menjawab: (Dia) dari kalangan bekas budak. Dia berkata (lagi): Dengan apa dia memimpin mereka? Aku menjawab: Dengan apa yang dimiliki ‘Atha’. (Maka) dia berkata: Sungguh dia pantas untuk itu, siapakah yang memimpin penduduk Mesir? Aku menjawab: Yazid bin abi Habiib. Dia bertanya (lagi): (Apakah) dia dari (kalangan) orang Arab (asli) atau dari (kalangan) orang-orang bekas budak? (Maka) aku menjawab: (Dia) dari kalangan bekas budak. Dia bertanya (lagi): Siapakah yang memimpin penduduk Syam? Aku menjawab: Makhul. Dia bertanya (lagi): (Apakah) dia dari (kalangan) orang Arab (asli) atau dari (kalangan) orang-orang bekas budak? (Maka) aku menjawab: (Dia) dari kalangan bekas budak, (dulunya) dia seorang budak dari (suku) Nauby kemudian dibebaskan oleh seorang wanita dari (suku) Hudzail. (Kemudian) dia bertanya: Siapakah yang memimpin penduduk Jazirah? Aku menjawab: Maimun bin Mihran. Dia bertanya (lagi): (Apakah) dia dari (kalangan) orang Arab (asli) atau dari (kalangan) orang-orang bekas budak? Aku menjawab: (Dia) dari kalangan bekas budak. Dia bertanya (lagi): Siapakah yang memimpin penduduk Khurasan? Aku menjawab: Adh Dhahhak bin Muzahim. Dia bertanya (lagi): (Apakah) dia dari (kalangan) orang Arab (asli) atau dari (kalangan) orang-orang bekas budak? Aku menjawab: (Dia) dari kalangan bekas budak. (Kemudian) dia bertanya (lagi): Siapakah yang memimpin penduduk Bashrah? Aku menjawab: Al Hasan Al Bashry. Dia bertanya (lagi): (Apakah) dia dari (kalangan) orang Arab (asli) atau dari (kalangan) orang-orang bekas budak? Aku menjawab: (Dia) dari kalangan bekas budak. (Akhirnya) dia berkata: Celaka engkau, lalu siapa yang memimpin penduduk Kufah? Aku menjawab: Ibrahim An Nakha’i. Dia bertanya (lagi): (Apakah) dia dari (kalangan) orang Arab (asli) atau dari (kalangan) orang-orang bekas budak? Aku menjawab: (Dia) dari (kalangan) orang Arab (asli). (Maka) dia berkata: Celakah engkau Wahai Zuhri, engkau telah membuatku merasa lega (dengan ucapanmu yang terakhir), demi Allah sungguh orang-orang bekas budak akan memimpin orang-orang Arab (Asli) di negeri (Arab) ini sehingga (nantinya) mereka akan berceramah di atas mimbar-mimbar dan dan orang-orang arab (duduk mendengarkan) di bawah mimbar. (Maka) akupun berkata: Wahai Amirul mu’minin, (semua itu sebabnya) tidak lain adalah diin (agama), barangsiapa yang menjaganya maka dia akan menjadi pemimpin (umat), dan barangsiapa yang tidak menghiraukannya maka dia akan direndahkan.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا الحمد لله رب العالمين.

Madinah, 7 Shafar 1428 H (24 feb 2007)
Abdullah bin Taslim Al Buthany


_________________________________
Catatan Kaki:

  1.  Kitab “Miftahu daaris sa’aadah” (1/227, cet. Daaru ibnil Qayyim dan Daaru ibni ‘Affaan, Penyunting: Sykh Ali Hasan Al Halaby).
  2. Kitab “Miftahu daaris sa’aadah” (1/262).
  3. Lihat kitab “Manhajul Anbiyaa’ fii tazkiyatin nufuus” (hal.100), tulisan Sykh Salim bin ‘Ied Al Hilaly.
  4. Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam “Hilyatul auliya’” (1/79-80) dan Al Khatiib Al Bagdaady dalam “Al Faqiih wal mutafaqqih” (1/49-50) dan dishahihkan oleh Al Khatiib sendiri, Ibnu ‘Abdil Barr, Ibnu Katsir dll.
  5. Lihat keterangan Sykh Muhammad Hamid Al Faqiy dan Sykh Bin Baz ttg masalah ini pada catatan kaki kitab “Fathul Majid” (hal. 417, cet. Dar Ibnu Hazm).
  6. Hadits hasan Riwayat Ahmad (5/196), Abu Dawud (no. 3641 dan 3542), At Tirmidzi (no. 2682) dll, dengan sanad yang saling menguatkan, sebagaimana penjelasan Ibnu Hajar dalam “Fathul Baari” (1/160).
  7. Lihat misalnya QS Yunus:68, QS An Najm:23, QS Ash Shaaffaat:156 dll.
  8. Lihat kitab “Miftahu daaris sa’aadah” (1/243-244).
  9. Nama lengkapnya Sa’id bin ‘Abdir Rahman bin Abza Al Khuza’i maulaahum Al Kuufy, beliau adalah seorang dari kalangan Tabi’in 1 yang tsiqah (terpercaya) dalam meriwayatkan hadits (Lihat kitab “Taqriibut tahdziib” hal. 188, cet. daaru Ibni Rajab).
  10. Yaitu dengan mengimani, mengagungkan dan mengamalkan kandungan maknanya secara ikhlas (kitab “Faidhul Qadiir” 2/302).
  11. Yaitu dengan tidak mengimani dan mengamalkan kandungannya (ibid).
  12. Sanad atsar ini sangat lemah, karena ada seorang perawinya yang bernama Al Walid bin Muhammad Al Muwaqqary, Ibnu Hajar mensifatinya sebagai seorang yang matruk (ditinggalkan riwayatnya), Lihat kitab “Taqriibut tahdziib” (hal. 539).

Keridhaan Malaikat terhadap Para Penuntut Ilmu
oleh: Ibnu Qayyim al-Jauziyyah

Sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Abu Daud, Imam Tirmidzi dari Abu Darda' menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. bersabda,


مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِي جَوْفِ الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ


"Barangsiapa yang menempuh perjalanan untuk mencari ilmu, niscaya Allah subhanahu wata’ala menyediakan jalan untuknya menuju surga. Sesungguhnya para malaikat melebarkan sayapnya karena ridha kepada orang yang menuntut ilmu. Sesungguhnya ulama dimintakan ampun oleh makhluk yang berada di langit dan di bumi sampai paus yang di dalam laut. Keutamaan seorang alim atas seorang abidseperti keutamaan bulan atas segala bintang. Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, tetapi mereka hanya mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambil ilmu itu, maka sungguh dia telah mengambil keberuntungan yang banyak."



Al-Walid bin Muslim meriwayatkan dari Khalid bin Yazid, dari Usman bin Aiman, dari Abu Darda' bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. bersabda,

"Barangsiapa yang pergi untuk mencari ilmu maka Allah subhanahu wata’ala membukakan kepadanya jalan menuju surga dan para malaikat pun membentangkan sayap untuk menaunginya. Dan para malaikat di langit serta ikan paus di laut bershalawat untuknya. Keutamaan seorang ulama atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan pada malam purnama atas semua bintang. Ulama adalah pewaris para nabi, para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, tetapi mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambil ilmu, maka dia telah mendapatkan bagian yang banyak (dari warisan itu). Kematian seorang ulama merupakan musibah yang tidak bisa diobati, lubang yang tidak dapat disumbat, dan bintang yang hancur. Kematian satu kabilah lebih ringan daripada kematian seorang alim." (HR Baihaqi)

Jalan yang dilalui orang yang mencari ilmu adalah jalan menuju surga. Ini sebagai balasan baginya, karena di dunia ia telah menempuh jalan untuk mencari ilmu yang mengantarkan ia kepada ridha Tuhan. Para malaikat pun meletakkan sayap mereka sebagai rasa ketawadhuan, penghormatan, dan pemuliaan terhadap apa yang ia bawa dan ia cari, yaitu warisan para nabi. Semua ini menunjukkan kecintaan dan penghargaan para malaikat terhadapnya.

Di antara kecintaan dan penghormatan para malaikat kepadanya adalah mereka meletakkan sayap mereka karena ia mencari sebab kehidupan dan keselamatan dunia. Antara malaikat dan seorang alim terdapat kesamaan. Malaikat adalah makhluk Allah yang paling baik dan paling bermanfaat bagi anak cucu Adam, dengan perantara mereka juga manusia mendapatkan kebahagiaan, ilmu pengetahuan, dan petunjuk.

Di antara manfaat dan kebaikan para malaikat kepada manusia adalah mereka meminta pengampunan atas dosa manusia, memuji orang-orang mukmin, dan membantu anak cucu Adam menghadapi setan. Bahkan mereka sangat menginginkan kebaikan bagi hamba Allah subhanahu wata’ala melebihi keinginan kebaikan bagi diri mereka sendiri. Mereka juga menginginkan kebaikan dunia dan akhirat bagi hamba-hamba Allah subhanahu wata’ala yang sama sekali tidak pernah diinginkan oleh hamba tersebut dan tidak pernah terlintas dalam benaknya. Seperti yang dikatakan beberapa tabi'in bahwa para malaikat adalah makhluk Allah yang paling baik dan setan-setan adalah akhlak yang paling jahat.

Allah subhanahu wata’ala berfirman,

"(Malaikat-malaikat) yang memikul 'Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan), 'Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang bertaobat dan mengikuti jalan-Mu serta peliharalah mereka dari siksa neraka yang menyala-nyala. Ya Tuhan kami, masukkanlah mereka ke dalam surga 'Aden yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh di antara bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Dan peliharalah mereka dari balasan kejahatan. Orang-orang yang Engkau pelihara dari pembalasan kejahatan hari itu, maka sesungguhnya Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar." (al-Ghaafir: 7-9)

Maka, hanya kebaikan para nabi yang menyerupai kebaikan para malaikat ini. Sehingga jika seorang hamba menuntut ilmu, maka ia memperoleh kebaikan yang paling agung. Karena itu, mereka dicintai dan dihormati para malaikat sehingga mereka melebarkan sayap-sayap mereka baginya sebagai rasa senang, cinta, dan penghormatan. Abu Hatim ar-Razy berkata, "Saya pernah mendengarkan Ibnu Abi Uwais berkata bahwa dia mendengar Malik bin Anas berkata, 'Makna sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. 'para malaikat melebarkan sayap-sayapnya' adalah berdoa untuk penuntut ilmu, dan 'sayap' dalam hadits tersebut adalah sebagai ganti dari kata tangan."

Ahmad bin Marwan al-Maliki dalam kitab Al-Mujalasah mengatakan bahwa Zakariya bin Abdurrahman al-Bashri berkata bahwa dia mendengar Ahmad bin Syu'aib berkata, "Kami pernah berkumpul dengan beberapa ahli hadits di Bashrah dan mereka menyampaikan kepada kami sebuah hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam. bahwa para malaikat melebarkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu. Pada saat itu ada seorang Mu'tazilah yang ikut di majelis kami menertawakan hadits itu. Lalu orang Mu'tazilah tersebut berkata, 'Demi Allah, besok aku akan memasang paku di bawah sandalku, lalu aku akan menginjak-nginjak sayap-sayap para malaikat itu.' Lalu orang Mu'tazilah tersebut melakukan hal itu terhadap sandalnya dan memakainya, setelah beberapa hari tiba-tiba kedua kakinya lumpuh dan terkena penyakit."

Imam Thabrani berkata, "Saya mendengar Yahya Zakariya bin Yahya as-Saji berkata bahwa ia berjalan di beberapa lorong di Bashrah menuju rumah seorang ahli hadits dengan agak tergesa-gesa. Kala itu kami berjalan dengan seseorang yang cacat dalam agamanya. Dan dengan nada mengejek orang itu berkata, 'Angkatlah kaki kalian dari sayap-sayap para malaikat, janganlah mematahkannya!' Belum lagi meninggalkan tempatnya, kakinya kejang dan ia pun terjatuh,"

Dalam Kitab-kitab Sunan dan Musnad-musnad, disebutkan sebuah hadits Shafwan bin Assal, bahwasnya ia berkata, "Wahai Rasulullah, saya datang kepadamu untuk menuntut ilmu." Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. menjawab, "Selamat datang kepada penuntut ilmu. Sesungguhnya para malaikat mengelilingi dan menaungi orang yang menuntut ilmu dengan sayap-sayapnya. Maka, karena kecintaan mereka kepada apa yang dicari seorang penuntut ilmu, mereka saling menunggangi satu sama lainnya untuk menaunginya sehingga mencapai langit.” Lalu Nabi menyebutkan hadits tentang mengusap khuf.

Abu Abdullah bin Hakim berkata bahwa sanad hadits ini adalah shahih. Ibnu Abdil Barr berkata bahwa ini adalah hadits shahih hasan tsaabit, mahfuudh dan marfu', dan hadits semacam ini tidak dikatakan berdasarkan rasio. Dalam hadits ini disebutkan bahwa para malaikat mengelilingi penuntut ilmu dengan sayap-sayapnya hingga mencapai langit. Sedangkan, dalam hadits sebelumnya disebutkan bahwa para malaikat meletakkan sayap-sayap mereka. Maksud dari meletakkan sayap adalah ketawadhuan, penghormatan, dan pemuliaan. Dan, maksud dari mengelilingi dengan sayap adalah menjaga, melindungi, dan membentengi.

Maka, kedua hadits tersebut mencakup penghormatan, kecintaan, perlindungan dan pemeliharaan malaikat kepada orang yang menuntut ilmu. Seandainya hanya ini yang diperoleh seorang penuntut ilmu, tentunya itu sudah merupakan kemuliaan dan kehormatan tersendiri.

Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam., "Sesungguhnya seorang alim dimintakan ampunan oleh makhluk yang berada di langit dan di bumi hingga ikan-ikan di lautan," maksudnya tatkala seorang alim merupakan sebab diperolehnya ilmu yang merupakan kunci keselamatan manusia dari kehancuran, sehingga keselamatan manusia diperoleh dengan perantara dia, maka dia mendapatkan balasan sejenis dengan perbuatannya. Sehingga, semua penghuni langit dan bumi selalu berusaha menyelematkannya dari sebab-sebab kebinasaan, yaitu dengan meminta ampunan untuknya. Jika orang-orang mukmin pada umumnya dimintakan ampunan oleh para malaikat, tentunya lebih utama lagi orang-orang khusus dan terbaik dari mereka.

Dikatakan bahwa makhluk langit dan makhluk bumi yang memintakan ampunan bagi orang alim adalah umum, mencakup binatang dan sebagainya, baik yang berbunyi maupun yang tidak. Ini ditegaskan dengan sabda Rasul shallallahu alaihi wasallam, "Hingga ikan-ikan di lautan dan semut di sarangnya memintakan ampun bagi orang yang menuntut ilmu."

Ada yang berpendapat bahwa sebab dari permintaan ampunan dari makhluk-makhluk tersebut untuk orang alim adalah karena orang alim mengajarkan kepada manusia cara memelihara binatang, memperkenalkan yang halal dan yang haram, memberitahukan cara menangkap, menggunakan, menunggangi, memanfaatkan dan menyembelih hewan. Orang alim adalah orang yang paling sayang dan paling baik kepada binatang, karena ia menjelaskan kepada manusia tujuan penciptaannya.

Secara global, kasih sayang dan kebaikan yang karenanya dan untuknya hewan diciptakan, serta bagian dari kedua hal itu yang ditetapkan untuknya hanya dapat diketahui dengan ilmu. Maka, orang alimlah yang mengajarkan hal itu. Karena itu, sudah selayaknya semua binatang memohonkan ampunan baginya. Wallaahu wa'alam.

Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, "Keutamaan orang berilmu dari ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas bintang-bintang," merupakan perumpamaan yang sangat pas. Karena bulan menerangi penjuru cakrawala dan cahayanya meluas ke penjuru alam. Ini sebagaimana perihal orang berilmu.

Sedangkan bintang-gemintang, cahayanya tidak melewati dirinya atau hanya sampai kepada sesuatu yang terdekat darinya. Hal ini sebagaimana seorang ahli ibadah, dia hanya menerangi dirinya sendiri, tidak menerangi orang lain. Jika cahaya ibadahnya menggapai orang lain, maka jangkauannya tidak jauh sebagaimana cahaya bintang melampaui dirinya sedikit. Di antara riwayat yang sesuai dengan hadits ini adalah sebuah atsar yang berbunyi, "Pada hari kiamat Allah subhanahu wata’ala subhanahu wata’ala berfirman kepada seorang ahli ibadah, 'Masuklah ke surga sendiri, karena manfaatmu hanya untuk dirimu.' Sedangkan kepada seorang alim dikatakan, 'Berikanlah syafaat kepada orang lain maka kamu akan mendapatkan syafaat, sesungguhnya engkau telah memberi manfaat kepada manusia. "

Ibnu Juraij meriwayatkan dari Atha' dari Ibnu Abbas radhiallahu anhu bahwa pada hari kiamat orang berilmu dan orang ahli ibadah akan dipanggil, lalu dikatakan kepada ahli ibadah, "Masuklah surga", dan dikatakan kepada orang yang berilmu, "Mintalah syafaat maka kamu akan mendapatkannya."

Dalam penyerupaan seorang alim dengan bulan dan seorang abid seperti bintang terdapat hikmah lainnya. Yaitu bahwa kebodohan seperti malam gelap gulita, sedangkan seorang para ulama dan para ahli ibadah dalam kegelapan itu seperti bulan dan bintang-gemintang. Maka dalam keadaan gelap gulita itu, keutamaan cahaya seorang alim seperti keutamaan cahaya bulan atas cahaya bintang.

Di samping itu, tegaknya agama adalah karena ditopang, dihias, dan diterangi oleh para ulama dan ahli ibadah. Apabila para ulama dan ahli ibadahnya hilang, maka hilanglah agama, sebagaimana langit yang dihias dan diterangi oleh bulan dan bintang-gemintang. Jika bulan dan bintang-bintang hilang dari langit, maka datanglah hari kiamat yang dijanjikan Allah subhanahu wata’ala.

Apabila seseorang bertanya. "Mengapa orang berilmu diserupakan dengan bulan bukan dengan matahari, padahal cahaya matahari lebih besar?" Terhadap pertanyaan ini ada yang menjawab, bahwa dalam perumpamaan tersebut terdapat dua hal penting.

Pertama, karena cahaya bulan merupakan pantulan cahaya matahari, maka orang berilmu yang mengambil ilmu dari risalah Nabi shallallahu alaihi wasallam. lebih sesuai jika diserupakan dengan bulan daripada dengan matahari.

Kedua, cahaya matahari tetap, tidak berubah, dan tidak memiliki tingkatan. Sedangkan bulan, terkadang cahayanya sedikit, banyak, penuh, dan berkurang sebagaimana para ulama yang ilmunya bertingkat-tingkat; ada yang ilmunya sedikit ada juga yang banyak. Perbedaan tingkatan para ulama bagaikan perbedaan keadaan bulan. Dari bulan purnama yang sempurna, lalu berkurang sedikit demi sedikit hingga pada keadaannya yang paling akhir. Di sisi Allah subhanahu wata’ala tingkatan ulama pun berbeda-beda.

Jika ada yang mengatakan bahwa penyerupaan ulama dengan bintang-gemintang adalah hal yang sudah diketahui secara umum, sebagaimana disabdakan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam., "Sahabat-sahabatku seperti bintang-gemintang," lalu mengapa para ulama diserupakan dengan bulan? Sebagai jawabannya, dikatakan adapun perumpamaan ulama dengan bintang karena bintang dipakai sebagai petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut, demikian pula dengan para ulama. Bintang-bintang adalah penghias langit dan ulama adalah penghias bumi. Bintang-gemintang menjadi penghalang bagi para setan agar tidak mencuri dengar berita langit, sehingga tidak bercampur dengan kebohongan-kebohongan yang mereka buat. Demikian pula para ulama, mereka menjadi lemparan penghalang bagi setan jin dan manusia yang membisikkan kata-kata indah yang memperdaya.

Para ulama menjadi penghalang bagi kelompok jahat ini untuk melakukan akivitas mereka. Seandainya tidak karena para ulama, maka hancurlah ajaran-ajaran agama karena pemalsuan orang-orang yang sesat. Allah subhanahu wata’ala menjadikan para ulama sebagai penjaga bagi agama-Nya dan sebagai penghalang bagi musuh-musuh para rasul-Nya. Dan ini adalah bentuk keserupaan mereka dengan bintang.

Sementara itu, perumpamaan mereka dengan bulan adalah pada posisi keutamaan mereka atas ahli ibadah semata. Perbandingan antara keduanya adalah perbandingan keutamaan dan makna, yaitu bahwa mereka melampaui ahli-ahli ibadah yang bukan ulama sebagaimana bulan melebihi bintang-bintang. Masing-masing dua perumpamaan itu adalah tepat sesuai tempatnya masing-masing.

Adapun perkataan Nabi shallallahu alaihi wasallam. bahwa para ulama adalah pewaris para nabi, merupakan keistimewaan yang paling besar bagi orang-orang yang berilmu. Sesungguhnya para nabi adalah hamba Allah subhanahu wata’ala yang terbaik. Maka, para pewaris mereka juga merupakan orang-orang terbaik setelah mereka. Karena para ulama menunaikan tugas para rasul dalam menyampaikan ajaran agama, maka merekalah orang-orang yang paling berhak mewarisi para rasul. Secara tidak langsung hal ini menunjukkan bahwa para ulama adalah orang-orang yang terdekat dengan para rasul, karena hanya orang-orang terdekat yang mendapatkan warisan, sebagaimana dalam pewarisan harta. Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala mengkhususkan rahmat-Nya bagi orang-orang yang Dia kehendaki.

Dalam sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. bahwa para ulama adalah pewaris para nabi, menunjukkan perintah bagi umat untuk mentaati, menghormati, meninggikan, dan memuliakan mereka, karena mereka juga adalah pewaris beberapa hak para nabi atas umat. Karena mencintai para nabi adalah bagian dari tuntunan agama dan membenci mereka bertentangan dengan agama, demikian juga terhadap para pewaris mereka. Ali berkata, "Mencintai ulama merupakan tuntunan agama yang harus dilaksanakan." Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam sebuah hadits Qudsi,


"Barangsiapa yang menentang wali-Ku, maka dia telah menantang Aku untuk berperang."{HR Bukhari dan Abu Nu'aim)

Jadi para pewaris nabi adalah para wali Allah subhanahu wata’ala.

Dalam sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam. bahwa para ulama adalah pewaris para nabi, terdapat isyarat mereka untuk mengikuti petunjuk para nabi dalam menyampaikan agama. Yaitu, dengan penuh kesabaran, membalas kejahatan manusia dengan kebaikan, lemah lembut dan mengajak manusia kepada jalam Allah dengan cara yang terbaik, serta selalu berusaha memberikan nasehat kepada manusia untuk menunaikan kebajikan. Dengan itulah mereka memperoleh bagian dari warisan para nabi yang sangat berharga dan mulia nilainya.Ini juga merupakan peringatan bagi orang-orang berilmu untuk mendidik umat sebagaimana orang tua mendidik anaknya. Maka, mereka harus mendidik umat secara bertahap dan bertingkat, mulai dari pengetahuan-pengetahuan yang kecil sampai kepada yang besar. Mereka juga hanya membebankan kepada umat apa yang mampu mereka pikul, sebagaimana yang dilakukan seorang bapak kepada anaknya yang masih kecil dalam memberikan makanan kepadanya. Manusia bagi para nabi dan rasul seperti anak-anak di hadapan bapaknya, bahkan lebih rendah lagi. Karena itu, setiap jiwa yang tidak terdidik oleh para rasul tidak akan mendapatkan keberuntungan dan tidak dapat melakukan kebajikan. Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam sebuah syair,

"Orang yang tidak dididik oleh Rasul
dan tidak diberi minum dari ajaran agamanya
Maka ia adalah orang hilang yang tidak memiliki ikatan loyalitas
Dan tidak akan tumbuh melampaui anak-anak sebayanya."

Sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam. bahwa para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham tetapi mewariskan ilmu, menunjukkan kesempurnaan para nabi dan besarnya kebaikan mereka terhadap umat, serta menunjukkan kesempurnaan nikmat Allah subhanahu wata’ala kepada mereka. Dengan demikian, umat mereka harus menghilangkan penyakit hati yang membuat seseorang berpikir bahwa para nabi adalah seperti raja yang menginginkan dunia dan kemewahannya. Semoga Allah subhanahu wata’ala menjaga umat ini dari anggapan seperti ini. Karena pada umumnya manusia menginginkan kemewahan dunia untuk anaknya sepeninggalnya sehingga ia rela bersusah payah membanting tulang untuk anaknya, maka sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. di atas menunjukkan bahwa Allah subhanahu wata’ala menghindarkan para nabi dan rasul dari anggapan semacam itu.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. bersabda,
"Kami -para nabi- tidak meninggalkan warisan. Apa yangkami tinggalkan adalah sedekah."

Jadi para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, tapi mewariskan ilmu. Sedangkan firman Allah subhanahu wata’ala,

وَوَرِثَ سُلَيْمَانُ دَاوُودَ

"Dan Sulaiman mewarisi Daud." (an-Naml: 16)

Ini adalah pewarisan ilmu dan kenabian bukan pewarsian yang lain, sebagaimana disepakati oleh para mufassir. Alasannya karena Nabi Daud a.s. memiliki banyak anak selain Nabi Sulaiman. Seandainya warisan itu berupa harta, maka Nabi Sulaiman a.s. tidak akan dikhususkan untuk mendapatkannya. Di samping itu, firman Allah subhanahu wata’ala tidak mungkin dan tidak layak menyampaikan hal semacam itu, karena itu sama saja dengan ucapan kita, "Si Fulan telah mati dan diwarisi oleh anaknya". Kita juga sudah maklum adanya bahwa setiap orang mewarisi anaknya, sehingga tidak ada gunanya menyampaikan hal seperti ini secara khusus dalam Al-Qur'an. Ayat sebelum dan sesudahnya juga menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah warisan ilmu dan kenabian, bukan warisan harta. Allah subhanahu wata’ala berfirman,

وَلَقَدْ آتَيْنَا دَاوُودَ وَسُلَيْمَانَ عِلْماً وَقَالَا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي فَضَّلَنَا عَلَى كَثِيرٍ مِّنْ عِبَادِهِ الْمُؤْمِنِينَ وَوَرِثَ سُلَيْمَانُ دَاوُودَ

"Dan sesungguhnya Kami telah memberikan Daud dan Sulaiman ilmu. Dan keduanya berkata/Puji syukur kepada Allah yang mengutamakan kami atas banyak hamba-hamba-Nya yang beriman.' Dan Sulaiman mewarisi Daud." (an-Naml: 15-16)

Dan disebutkan kata-kata "Dan Sulaiman mewarisi Daud" adalah untuk menjelaskan kelebihan dan kekhususan yang diberikan Allah subhanahu wata’ala kepada Nabi Sulaiman a.s., berupa kemuliaan yang dimiliki ayahnya yaitu ilmu dan kenabian.

Kemudian Allah subhanahu wata’ala berfirman,

إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْفَضْلُ الْمُبِينُ

"Sesungguhnya ini adalah karunia yang sangat jelas." (an-Naml: 16)

Demikian pula dalam ucapan Zakaria yaitu dalam firman Allah subhanahu wata’ala,

وَإِنِّي خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِن وَرَائِي وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِراً فَهَبْ لِي مِن لَّدُنكَ وَلِيّاً يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آلِ يَعْقُوبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيّاً

"Dan sesungguhnya aku akan khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang istriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera yang akan mewarisi aku dengan mewarisi sebagian keluarga Ya'kub dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai." (Maryam: 5-6)

Yang dimaksud di sini adalah warisan ilmu, kenabian, dan dakwah kepada Allah subhanahu wata’ala. Sebab tidak dapat dibayangkan jika seorang nabi khawatir tidak memiliki sanak keluarga yang mewarisi hartanya, kemudian memohon kepada Allah subhanahu wata’ala untuk dikaruniai seorang anak yang akan mewarisinya dan menjadi orang yang paling berhak untuk menerimanya. Allah subhanahu wata’ala mensucikan para nabi dan rasul-Nya dari sifat semacam ini dan semisalnya. Maka, hal ini jauh sekali dari anggapan orang-orang yang memalsukan kitab Allah subhanahu wata’ala dan menuduhkan kepada para nabi hal-hal yang tidak layak ada pada mereka. Puji syukur kepada Allah subhanahu wata’ala atas segala taufik dan hidayah-Nya.

Dikisahkan dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa pada suatu hari ia melewati sebuah pasar dan melihat orang-orang sedang berdagang dan berjual beli, lalu Abu Hurairah r.a. berkata, "Kalian ada di sini. Mengapa kalian tidak ikut mengambil warisan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. yang dibagikan di mesjid?" Lalu mereka segera bangkit dan pergi menuju ke masjid. Akan tetapi, ketika sampai di masjid mereka tidak menemukan sesuatu kecuali orang-orang yang membaca Al-Qur'an, berzikir, dan majelis ilmu. Maka, mereka pun bertanya kepada Abu Hurairah r.a., "Wahai Abu Hurairah, mana yang engkau katakan tadi?" Abu Hurairah menjawab, "Inilah warisan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam. yang dibagikan kepada para ahli warisnya, bukannya harta dan kernewahan dunia."

Adapun sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam., "Barangsiapa yang mengambil warisan Nabi itu, maka ia mendapatkan bagian yang banyak", maksudnya bagian yang manfaatnya paling besar, paling baik, dan paling langgeng bagi manusia, dan tidak lain ini adalah ilmu dan agama. Karena manfaat ilmu dan agama yang dimiliki seseorang lalu diajarkan kepada orang lain adalah kekal. Apabila terputus dari pemiliknya, maka kebaikannya akan tetap sampai kepada pemiliknya untuk selamanya, sedangkan hal-hal lainnya akan hilang dan sia-sia. Allah subhanahu wata’ala berfirman,


وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاء مَّنثُوراً

"Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu beterbangan." (al-Furqaan: 23)

Sesungguhnya jika tujuan dari pekerjaan seseorang tidak kekal dan terputus, maka setelah kematiannya ia tidak akan mendapatkan apa-apa dari apa yang ia lakukan, ini merupakan musibah yang tidak bisa diobati. Oleh karena itu, kita berlindung kepada Allah subhanahu wata’ala, semoga kita dihindarkan dari kerugian semacam itu. Laa haula walaa quwwata ilia billah.

Adapun sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam., "Kematian orang berilmu adalah musibah yang tidak dapat diobati, kerusakan yang tidak dapat diperbaiki, dan bintang yang hilang. Dan kematian satu suku lebih ringan daripada kematian seorang berilmu", karena baiknya kehidupan adalah karena ulama. Jika bukan karena mereka, maka manusia seperti hewan bahkan lebih buruk keadaannya. Sudah barang tentu kematian seorang ulama adalah musibah yang tidak dapat diobati, kecuali oleh seorang ulama baru sesudahnya.

Para ulama adalah orang-orang yang mengarahkan umat, negara, dan kekuasaan. Sehingga, kematian mereka mengakibatkan kerusakan pada sistem alam. Oleh karena itu Allah subhanahu wata’ala senantiasa menyiapkan para ulama yang menggantikan ulama-ulama yang terdahulu untuk menjelaskan agama-Nya kepada umat. Dengan mereka maka agama, Kitab, dan hamba-hamba-Nya terpelihara.

Jika ada seseorang yang kaya raya dan dermawan yang melampaui kekayaan dan kedermawanan semua orang di dunia, dan semua umat manusia sangat membutuhkan uluran tangannya, maka jika orang tersebut meninggal apa yang bisa Anda bayangkan? Namun, kerugian karena kematian seorang ulama, jauh lebih besar dibandingkan kematian orang semacam itu. Karena kematian seorang ulama berarti kematian manusia dan makhluk hidup lainnya, sebagaimana dikatakan seorang pujangga,

"Tahukah engkau musibah karena hilangnya harta
tidak akan ada kambing dan unta yang mati karenanya
Akan tetapi kematian seseorang yang berjasa
menyebabkan kematian banyak manusia."

Dan pujangga yang lain berkata,


"Kematiannya tidak bisa disamakan
dengan kematian satu orang,
akan tetapi kematiannya
adalah kehancuran bangunan bangsa."

_________________
1.Dan itu karena Mu'tazilah menentang nash-nash syariat sesuai dengan akal mereka yang rusak. Mereka menerima apa yang sesuai dengan akal mereka dan menolak apa yang ditolak akal. Hadits ini telah ditentang oleh orang Mu'tazilah tersebut karena tidak sesuai dengan akalnya. Dia beranggapan bahwa balasan kepada seseorang mesti dari jgnis perbuatannya.
2 Diriwayatkan Ahmad (IV/240), ath-Thabari dalam kitab al-Jamii'al-Kabiir, al-Hakim (1/100) dan berkata, "Ini adalah sanad shahih" dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya nomor 85, Ibnu Abdil al-Barr dalam kitab Jami' al-'flm (1/32-33). Hadits ini dihasankan oleh al-Albani dalam Shahih at-Tarhiib wa at-Targhiib (1/34).
3. Diriwayatkan secara marfu’ oleh Ibnu Abdil Bar dalam Jaami’ al-Ilm hal. 47 dari riwayat Jabir bin Abdillah. Diriwayatkan juga oleh Al-Baghdadi dalam Al-Faqih wal-Mutafaqqih (1/20), Al-Baihaqi dalam Syu’ub al-Imaan (11/268) dan ia berkata: “Hadits ini adalah hadits Fard dari Munqatil bin Sulaiman.” Imam Al-Bukhari berkata bahwa Munqatil bin Salman munkar al-hadits. Yahya bin Ma’in berkata bahwa hadits Munqatil bin Sulaiman sama sekali tidak bisa dijadikan pegangan.
4. Disebutkan oleh Al-Haitsami dalam Majma’adz Dzawaa’id (1/123-123, Ath-Thabrani Al-Mu’jam al-Ausath dan dia berkata bahwa sanadnya hasan. Al-Munziri juga mengatakan demikian dalam At-Targhib wat-Tarhib (1/61).


Sumber: "Kunci Kebahagiaan" (Muhktasar Miftah Daar as-Sa'adah), Pentahqiq: Abu Hafs Sayyid bin Ibrahim bin Shidiq Imran, hal 134-143; Penerbit: Akbar, cetakan pertama, 2004.

Dari :  khayla.net
Al-Fudhail bin Iyadh salah seorang dari ulama Salafus Shalih. Berikut ini adalah kisah taubat beliau rahimahulllah.

Dari Al-Fadhl bin Musa, dia berkata: “
كان الفضيل بن عياض شاطرا يقطع الطريق بين أبيورد وسرخس، وكان سبب توبته أنه عشق جارية، فبينا هو يرتقي الجدران إليها، إذا سمع تاليا يتلو (ألم يأن للذين آمنوا أن تخشع قلوبهم..) [ الحديد: 16 ] فلما سمعها، قال: بلى يا رب، قد آن، فرجع، فآواه الليل إلى خربة، فإذا فيها سابلة، فقال بعضهم: نرحل، وقال بعضهم: حتى [ نصبح ] (1) فإن فضيلا على الطريق يقطع علينا.
قال: ففكرت، وقلت: أنا أسعى بالليل في المعاصي، وقوم من المسلمين هاهنا، يخافوني، وما أرى الله ساقني إليهم إلا لارتدع، اللهم إني قد تبت إليك، وجعلت توبتي مجاورة البيت الحرام.

“Al-Fuhdail bin Iyadh dahulu adalah seorang perampok yang menghadang di jalan antara Abyurd dan Sarkhas. Adapun penyebab taubatnya adalah karena beliau mencintai seorang gadis. Suatu kali beliau memanjat dinding untuk menemuinya ketika beliau mendengar seseorang membaca ayat berikut:

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka…” 
(QS Al-Hadid : 16)
Ketika mendengarnya beliau berkata: “Benar ya Rabb, inilah saatnya,” dan dia pun kembali dan mencari tempat untuk menginap di reruntuhan bangunan, dan di sana dia mendapat sekelompok orang yang melewati jalan. Sebagiann dari mereka berkata, “Mari terus berjalan.” Sebagian lainnya berkata, “Tunggulah hingga pagi, karena Fudhail berada di sekitar sini dan dia akan merampok kita.” Al-Fudhail berkata, “Maka aku pun berpikir dan berkata: “Aku menghabiskan malam dengan berbuat maksiat dan ada sekolompok kaum musliminin di sini takut kepadaku, dan aku berpikir bahwa tidaklah Allah membawaku ke sini kecuali untuk mengambil pelajaran (agar menghentikan perbuatan tersebut). Ya Allah, sungguh aku telah bertaubat kepada-Mu. Dan menjadikan taubatku dengan berdiam (tinggal) di Baitul Haram (Makkah).

Sumber: Siyar A’lam an-Nubala Imam Adz-Dzahabi dalam Biografi Fudhail bin Iyadh 8/422. (Dikutip dari Maktabah asy-Syamilah v3.0

Sumber : khayla.net
Hari keenam dari perang Yarmuk fajar benderang dan jernih. Itu adalah minggu ke empat Agustus 636 (minggu ketiga Rajab, 15 H). Kesunyian pagi hari tidak menunjukkan pertanda akan bencana yang akan terjadi berikutnya. Pasukan muslim saat itu merasa lebih segar, dan mengetahui niat komandan mereka untuk menyerang dan sesuatu di dalam rencananya, tak sabar untuk segera berperang. Harapan-harapan pada hari itu menenggelamkan semua kenangan buruk pada ’Hari Hilangnya Mata’[1]. Di hadapan mereka berbaris pasukan Romawi yang gelisah – tidak terlalu berharap namun tetap berkeinginan untuk melawan dalam diri mereka.

Seiring dengan naiknya matahari di langit yang masih samar di Jabalud Druz, Gregory, komandan pasukan yang dirantai, mengendarai kudanya maju ke depan di tengah-tengah pasukan Romawi. Dia datang dengan misi untuk membunuh komandan pasukan Muslimin dengan harapan hal itu akan memberikan efek menyurutkan semangat pimpinan kesatuan dan barisan kaum Muslimin. Ketika ia mendekati ke tengah-tengah pasukan Muslimin, dia berteriak menantang (untuk berduel) dan berkata, ”Tidak seorang pun kecuali Komandan bangsa Arab!”[2]

Abu Ubaidah seketika bersiap-siap untuk menghadapinya. Khalid dan yang lainnya mencoba untuk menahannya, karena Gregory memiliki reputasi sebagai lawan tanding sangat kuat, dan meang terlihat seperti itu. Semuanya merasa bahwa akan lebih baik apabila Khalid yang keluar menjawab tantangan itu, namum Abu Ubaidah tidak bergeming. Ia berkata kepada Khalid, ”Jika aku tidak kembali, engkau harus memimpin pasukan, sampai Khalifah memutuskan perkaranya.”[3]

Kedua komandan berhadap-hadapan di atas punggung kudanya masing-masing, mengeluarkan pedangnya dan mulai berduel. Keduanya adalah pemain pedang yang tangguh dan memberikan penonton pertunjukkan yang mendebarkan dari permainan pedang dengan tebasan, tangkisan dan tikaman. Pasukan Romawi dan Muslim menahan nafas. Kemudian setelah berperang beberapa menit, Gregory mundur dari lawannya, membalikkan kudanya dan mulai menderapkan kudanya. Teriakan kegembiraan terdengar dari pasukan Muslimin atas apa yang terlihat sebagai kekalahan sang prajurit Romawi, namun tidak ada reaksi serupa dari Abu Ubaidah. Dengan mata yang tetap tertuju pada prajurit Romawi yang mundur itu, ia menghela kudanya maju mengikutinya.

Gregory belum beranjak beberapa ratus langkah ketika Abu Ubaidah menyusulnya. Gregory, yang sengaja mengatur langkah kudanya agar Abu Ubaidah menyusulnya, berbalik dengan cepat dan mengangkat pedangnya untuk menyerang Abu Ubaidah. Kemundurannya dari medan pertempuran adalah tipuan untuk membuat lawannya lengah. Namun Abu Ubaidah bukanlah orang baru, dia lebih tahu mengenai permainan pedang dari yang pernah dipelajari Gregory. Orang Romawi itu mengangkat pedangnya, namun hanya sejauh itu yang dapat dilakukannya. Ia ditebas tepat pada batang lehernya oleh Abu Ubaidah, dan pedangnya jatuh dari tangannya ketika dia rubuh ke tanah. Untuk beberapa saat Abu Ubaidah duduk diam di atas kudanya, takjub pada tubuh besar jendral Romawi tersebut. Kemudian demgan meninggalkan perisai dan senjata yang berhiaskan permata orang Romawi itu, yang diabaikannya karena kebiasaannya tidak memandang berharga harta dunia, prajurit yang shalih itu kemudian kembali kepada pasukan Muslimin.




[1] Peristiwa ini terjadi pada hari keempat perang Yarmuk, dimana dari sumber ini dikabarkan 700 orang dari pasukan Muslim kehilangan matanya karena hujan panah dari tentara Romawi. Dan hari itu merupakan hari peperangan terburuk bagi pasukan Muslimin.

[2] Waqidi hal. 153.

[3] Ibid

Sumber: The Sword of Allah: Khalid bin Al-Waleed, His Life Campaigns. Lieutenant-General A.I. Akram, Pakistan, 1968. Penulis belajar Bahasa Arab untuk mempelajari sumber-sumber sejarah terdahulu dan mengunjungi setiap medan pertempuran Khalid bin al-Walid untuk membuat analisis dari sudut pandang strategi militer dan merekonsiliasi beberapa kejadian sejarah yang bertentangan.


khayla.net
Diwarayatkan dari Abu Ad-Darda radhiallahu anhu – bahwa beliau berkata: “Ada tiga hal yang membuatku tertawa dan tiga hal yang membuatku menangis.

Yang membuatku tertawa adalah seorang yang menaruh harapannya pada kehidupan dunia ketika kematian mengejarnya, seseorang yang lalai dari (mengingat) Tuhannya makala Dia tidak lalai daripadanya, dan seseorang yang selalu tertawa sedangkan dia tidak mengetahui apakah dia telah membuat Allah ridha atau murka terhadapnya.

Yang membuatku menangis adalah berpisah dari kekasih tercinta Muhammad dan para sahabatnya, kengerian saat kematian, dan berdiri dihadapan Allah Azza wa Jalla pada Hari ketika rahasia akan disingkapkan dan aku tidak tahu apakah aku akan pergi ke Surga atau Neraka.


(Ibn Al-Mubârak, Al-Zuhd wa Al-Raqâ`iq article 250)

Saying of The Salaf [dot] Net

Sumber : khayla.net
Sufyan ats-Tsauri meriwayatkan bahwa Abu Dzar al-Ghifari sedang berdiri di sisi Ka' bah dan dia berkata:

“Wahai manusia, Aku Jundub al-Ghifari, bersegeralah kepada saudaramu yang penyayang yang memberikan nasihat.” Orang-orang berkumpul mengelilinginya, dan dia berkata: “Tidakkah kalian mengetahui bahwa jika seseorang dari kalian hendak bersafar maka dia menyiapkan perbekalan yang dapat memudahkan perjalannya dan memungkinkan dia mencapai tujuannya?”

Mereka menjawab: “Tentu saja.”

Maka dia berkata. “Perjalanan menuju akhirat lebih panjang daripada (perjalanan) apapun yang hendak kalian laksanakan, maka ambillah apa-apa yang akan memudahkan perjalananmu.”

Mereka bertanya, “Apa itu yang dapat memudahkan perjalanan kami?”

Dia menjawab: “Berhajilah untuk kengerian-kengerian yang akan terjadi, berpuasalah pada hari yang sangat panas, untuk lamanya hari kiamat, shalatlah dua raka’at di kegelapan malam untuk kesunyian dan dinginnya kuburan, berkatalah yang baik atau tahanlah diri dari perkataan yang buruk untuk berdiri pada hari yang agung, dan berinfaklah dengan hartamu agar engkau diselamatkan dari musibah dan fitnah.”

“Jadikanlah di dunia dua majelis, majelis yang mencari akhirat, dan majelis yang mencari yang halal. Jenis majelis yang ketiga akan membahayakanmu dan tidak memberimu manfaat, karena itu janganlah menginginkannya.”

“Jadikanlah hartamu menjadi dua dirham, satu dirham engkau nafkahkan untuk keluargamu, dan satu dirmah engkau nafkahkan untuk akhiratmu. Jenis dirham yang ketiga akan membahayakanmu dan tidak memberimu manfaat, karena itu janganlah kamu menginginkannya.”



Hilayah al-Aulia Abu Nu'aim.

عن سفيان الثوري قال قام أبو ذر الغفاري عند الكعبة فقال يا أيها الناس أنا جندب الغفاري هلموا إلى الأخ الناصح الشفيق فاكتنفه الناس فقال أرأيتم لو أن أحدكم أراد سفرا أليس يتخذ من الزاد ما يصلحه ويبلغه قالوا بلى قال فسفر 1 طريق القيامة أبعد ما تريدون فخذوا منه ما يصلحكم قالوا ما يصلحنا قال حجوا حجة لعظام الأمور صوموا يوما شديدا حره لطول النشور صلوا ركعتين في سواد الليل لوحشة القبور كلمة خير تقولها أو كلمة سوء تسكت عنها لوقوف يوم عظيم تصدق بمالك لعلك تنجو من عسيرها اجعل الدنيا مجلسين مجلسا في طلب الآخرة ومجلسا في طلب الحلال والثالث يضرك ولا ينفعك لا تريده اجعل المال درهمين درهما تنفقه على عيالك من حله ودرهما تقدمه لآخرتك والثالث يضرك ولا ينفعك لا تريده ثم نادى بأعلى صوته يا أيها الناس قد قتلكم حرص لا تدركونه أبدا
Sumber : khayla.net
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

“Kelezatan mengikuti rasa cinta. Ia akan menguat mengikuti menguatnya cinta dan melemah pula seiring dengan melemahnya cinta. Setiap kali keinginan terhadap al-mahbub (sosok yang dicintai) serta kerinduan kepadanya menguat maka semakin sempurna pula kelezatan yang akan dirasakan tatkala sampai kepada tujuannya tersebut. Sementara rasa cinta dan kerinduan itu sangat tergantung kepada ma’rifah/pengenalan dan ilmu tentang sosok yang dicintai. Setiap kali ilmu yang dimiliki tentangnya bertambah sempurna maka niscaya kecintaan kepadanya pun semakin sempurna. Apabila kenikmatan yang sempurna di akherat serta kelezatan yang sempurna berporos kepada ilmu dan kecintaan.

 Maka barangsiapa yang lebih dalam pengenalannya dalam beriman kepada Allah, nama-nama, sifat-sifat-Nya serta -betul-betul meyakini- agama-Nya niscaya kelezatan yang akan dia rasakan tatkala berjumpa, bercengkerama, memandang wajah-Nya dan mendengar ucapan-ucapan-Nya juga semakin sempurna. Adapun segala kelezatan, kenikmatan, kegembiraan, dan kesenangan -duniawi yang dirasakan oleh manusia- apabila dibandingkan dengan itu semua laksana setetes air di tengah-tengah samudera. Oleh sebab itu, bagaimana mungkin orang yang berakal lebih mengutamakan kelezatan yang amat sedikit dan sebentar bahkan tercampur dengan berbagai rasa sakit di atas kelezatan yang maha agung, terus-menerus dan abadi. Kesempurnaan seorang hamba sangat tergantung pada dua buah kekuatan ini; kekuatan ilmu dan rasa cinta. Ilmu yang paling utama adalah ilmu tentang Allah, sedangkan kecintaan yang paling tinggi adalah kecintaan kepada-Nya. Sementara itu kelezatan yang paling sempurna akan bisa digapai berbanding lurus dengan dua hal ini [ilmu dan cinta], Allahul musta’aan.”

* * *

اللذة تابعة للمحبة تقوى بقوتها وتضعف بضعفها فكلما كانت الرغبة فى المحبوب والشوق اليه أقوى كانت اللذة بالوصول اليه أتم والمحبة والشوق تابع لمعرفته والعلم به فكلما كان العلم به اتم كانت محبته أكمل فإذا رجع كمال النعيم فى الآخرة وكمال اللذة الى العلم والحب فمن كان يؤمن بالله واسمائه وصفاته ودينه أعرف كان له أحب وكانت لذته بالوصول اليه مجاورته والنظر الي جهه وسماع كلامه أتم وكل لذة ونعيم وسرور وبهجة بالاضافة الى ذلك كقطرة فى بحر فكيف يؤثر من له عقل لذة ضعيفة قصيرة مشوبة بالآلام علي لذة عظيمة دائمة ابد الآباد وكمال العبد بحسب هاتين القوتين العلم والحب وافضل العلم العلم بالله وأعلى الحب الحب له وأكمل اللذة بحسبهما والله المستعان

Source: Al-Fawaid by Ibnu Qayyim al-Jauziyyah